07/03/2016

Sejarah Perkembangan Paham Aswaja

           3. Periode Tabi’in.
Maksud periode tabi’in dalam hal ini ialah periode pasca kekhalifahan sahabat Ali bin Abi Talib kw. yang ditengarai oleh munculnya sekte-sekte Islam yang banyak mendapat sorotan para ulama dan ahli sejarah, seperti:
a.       Qadariyah
b.      Murji’ah; dan
c.       Jabbariyah.
Qadariyah dengan pendirinya Ma’bad aljuhani dan al-Dimasyqi, antara lain berpendapat bahwa manusia memiliki qadar (kemampuan) sendiri untuk menciptakan perbuatannya tanpa campur tangan sama sekali Tuhan.
Sedangkan pendapat yang paling menonjol dari sekte Murji’ah yang dipelopori oleh Hasan bin Bilal al Muzni, Abu Salah al-Saman, Sauban dan Dirar bin Umar, ialah menangguhkan hukuman duniawi hingga hari kiamat. Hal ini lebih dilatarbelakangi oleh sikap apatis mereka terhadap pertikaian politik semenjak masa kekhalifahan Usman bin Affan ra. Mereka enggan menyatakan bagaimana hukumnya kelompok Syi’ah, Khawarij, Mu’awiyah, ataupun kelompok Ali sendiri yang non-Syi’ah. Bagaimana hukum masing-masing semua diserahkan kepada Tuhan kelak pada hari kiamat. Tetapi kemudian pendapatnya meluas termasuk meniadakan hukum qisas, diyat atau hukuman bagi pezina, semua hukuman ditunda sampai hari kiamat dihadapan Tuhan.
Sementara itu sekte jabariyah dengan pendirinya Jaham bin Safwan, atau sering pula disebut sekte Jahamiyah, menyatakan bahwa manusia tidak memiliki qadar sama sekali. Semua perbuatan manusia diciptakan secara mutlak oleh Qadar Tuhan. Baik-buruknya perbuatan manusia, semata-mata merupakan perwujudan dari baik buruknya Qadar Tuhan. Pendapat ini bertolak belakang 180 derajat dengan pendapat sekte Qadariyah.
Tentang keempat sekte ini, sebagian ulama berpendapat hanya ada dua sekte. Yakni, sekte Qadariyah adalah nama lain dari Mu’tazilah, dan sekte Murji’ah adalah nama lain dari jabariyah atau jahamiyah. Dan pengaruhnya sangat kuat, hingga kini terus mewarnai percaturan kalam (teologis) umat Islam ialah sekte Mu’tazilah.
Nama “Mu’tazilah” hanyalah nisbat terhadap ucapan Syekh Hasan Basri tatkala mengeluarkan muridnya yang amat radikal, yakni Wasil bin Ata al-Ghazal (80-131 H). I’tazil Anna! (keluarlah dari perguruanku!). Maka Wasil ini pula yang dikenal sebagai pendiri sekte Mu’tazilah
Wasil sendiri menamakan sektenya Ahl al-Adl wa al Tauhid (golongan yang berpaham adil dan mengEsakan Tuhan), sekaligus mengindikasikan pendapat utamanya. Adil menurutnya ialah bahwa Tuhan membalas amal perbuatan manusia yang diciptakan sendiri tanpa campur tangan Qadar-Nya. Sedangkan tauhid menunutnya ialah  bahwa Tuhan Esa tanpa diembel-embeli berbagai sifat, Dia tidak memiliki sifat-sifat.
Keradikalan Mu’tazilah, meskipun kemudian sekte ini terpecah sampai 22 sekte yang berbeda; semuanya terlalu berlebihan dalam memuja kemampuan akal, nyaris mengabaikan petunjuk naqli (al-Quran dan al-Sunnah). Bahkan menyatakan bahwa al-Quran adalah makhluk (ciptaan Tuhan) dan bersifat hadits (baru). Pernyataan terakhir iniIah yang kemudian disebut oleh banyak kalangan sebagai al-Mihnah (batu ujian bagi para ulama mayoritas yang tetap berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Tuhan, bukan makhluk-Nya dan atau Qadim.

bersambung Periode Imam Mazhab Empat

0 komentar:

Post a Comment