31/07/2016

Refleksi Setahun Muktamar NU di Jombang: Dari AHWA Hingga Emper Toko



M. Fathoni Mahsun

 

Tak terasa sudah satu tahun berlalu perhelatan Muktamar NU di Jombang. Saat itu Muktamar yang diselenggarakan pada bulan syawal 1436 H atau bertepatan dengan 1-5 Agustus 2015, kesibukannya mulai terasa sejak akhir bulan puasa, dan memuncak sesaat setelah memasuki bulan syawal. Di Jombang ketika itu yang dipikirkan sudah bukan lebaran, tapi Muktamar. Saat ini hiruk pikuk seperti itu sudah tidak ada lagi, hanya kenangan yang mengendap.
Selain persiapan teknis di lapangan, jauh-jauh hari sudah beredar pemikiran yang akan digeber di waktu Muktamar, dua yang paling pokok adalah pemilihan dengan menggunakan sistem Ahlul Hal Wa al-Aqdi (AHWA) dan Islam Nusantara. Ahwa masih menyisakan polemik hingga saat ini, sedangkan Islam Nusantara menjadi gagasan yang terus berkembang.
Kita ingat bahwa pembahasan Ahwa sangat alot. Ahwa pembahasannya dilakukan di komisi organisasi, yang bertempat di Denanyar ini memunculkan perdebatan sengit, bahkan deadlock. Ketika dibawa ke forum pleno yang bertempat di alun-alun Jombang, mahluk tak bernyawa bernama Ahwa ini masih saja mengundang perdebatan yang berlarut-larut, bahkan nyaris tak ada ujung. Hingga akhirnya Rois Syuriah KH. Musthofa Bisri turun tangan.
Kyai yang mahir bersajak dan akrab dipanggil Gus Mus ini kemudian menyampaikan pidato yang menggetarkan itu “.....Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium kaki-kaki Anda semua agar mengikuti akhlakuk karimah, akhlak KH Hasyim Asy'ari dan pendahulu kita....”. Suasana gaduh sebagaimana diberitakan media masa ketika itu, langsung senyap, tidak ada lagi yang mendebat, tidak ada lagi yang bersitegang, yang ada malah cucuran air mata. Jika Gus Mus se-berkarisma itu, bagaimana dulu karisma Kyai Hasyim yang namanya disebut-sebut  Gus Mus itu ya....?
 Di luar urusan orang tua-tua yang penuh hiruk-pikuk demikian,  ada sekelompok anak muda yang juga menyelenggarakan “muktamar”, berjuluk Musyawarah Kaum Muda NU (KMNU). Bedanya, jika di muktamar orang tua-tua, forumnya gaduh, Musyawarah Kaum Muda NU ini berlangsung gayeng, walaupun dengan fasilitas seadanya, lesehan di atas karpet, serta beli kopi dan makan sendiri.
Peserta yang datang pun berasal dari berbagi daerah, mereka jauh-jauh hari memang sudah niat datang, bukan kebetulan mampir, dengan cara mendaftar secara online. Anak-anak muda ini juga mencoba membangun identitasnya sendiri dengan mengenakan kopyah, banyak juga yang mengenakan blangkon, serta dengan berbagai macam gayanya yang lain. Terlihat benar mereka ingin mengekspresikan Islam Nusantara. Barangkali mereka tidak saling mengenal, tapi mereka datang dengan satu pikiran “Bagaimana ber-NU di masa mendatang.”
Kyai Maimun Zubair dalam mauidhohnya mengatakan, bahwa Musyawarah KMNU ini mengingatkannya pada peristiwa di tahun 1934, saat terbentuknya Ansor Nahdlatul Oelama’ (ANO). “Dulu suasananya persis seperti ini, kalau orang tua-tua bikin tempat sendiri untuk melaksanakan acaranya, anak-anak muda ketika itu juga membuat tempat tersendiri.”
Menurut Kyai Maimun, Sebelum menjadi ANO dulu segala sesuatunya masih gabung dengan NU, tapi setelah jadi ANO, maka anak-anak muda itu membuat muktamar sendiri, sudah menjadi organisasi sendiri yang mandiri. Mbah Mun mengisyaratkan bahwa peristiwa  berkumpulnya anak-anak muda di Muktamar NU ke-33, bukan suatu kebetulan, bahwa ada hubungannya dengan peristiwa terbentuknya ANO di tahun ’34, yaitu bangkitnya generasi muda NU.
Peneguhan Islam Nusantara memang ekspresinya lebih terasa di forum anak-anak muda. Karena di forum anak-anak muda itu dibahas, bagaimana pergesekan NU dengan seni dan budaya, bagaimana pergesekan NU dengan IT dan media, sampai bagaimana NU bergesekan dengan politik dan kekuasaan. Mereka bahkan juga membuat buku khusus yang mengulas tentang Islam Nusantara.
Musyawarah KMNU senyatanya bukan satu-satunya forum ilmiyah nya anak-anak muda NU, tapi juga ada Kajian Aswaja (Kiswah). Para pembicara di forum Kiswah ini biasa disebut ustadz. Namun ketika mendengarkan paparan materinya di serambi masjid Tambak Beras, sepertinya kualitas keilmuannya sudah setaraf kyai, hanya karena usianya yang masih muda saja sehingga belum disebut kyai.
Selain itu, ada juga forum-forum bedah buku yang tersebar di empat pesantren dengan pembicara sekelas nasional dan internasional, seperti Martin Van Bruinessen, peneliti ke-Islaman asal Belanda, yang berbicara di Ponpes Al-Aziziyah Denanyar. Tidak hanya buku-buku yang di bedah di forum-forum, ada juga buku-buku dan majalah yang tidak dibedah tapi ditulis oleh kalangan NU dan dijajakan di bazar-bazar yang turut menguatkan nuansa intelektual di muktamar NU 33 tersebut. Bahkan penulis menemukan majalah yang dirilis sejak tahun 2012 oleh PP LAKPESDAM NU yang ‘sudah’ menurunkan edisi khusus tentang Islam Nusantara.
Tapi, Muktamar NU di Jombang tidak hanya tentang hal-hal besar semacam itu, namun juga terselip hal-hal unik yang luput dari pemberitaan media. Misalnya saja prihal Kyai-kyai yang “menyembunyikan diri”, mereka datang di Jombang, tapi mereka tidak mau orang tahu “persembunyiannya”. Walhasil, panitia, juga Banser yang berjaga, bahkan sampai Patwal tidak diperkenankan mengantarkan ke tempat “persembunyian” itu. Untuk menyempurnakan usaha menyembunyikan diri tersebut bahkan ada yang sampai mengganti plat nomor mobilnya,  dengan plat nomor Jombang.
Itulah kenangan Muktamar di Jombang, namun masalahnya Muktamar diselenggarakan bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk mempersiapkan NU lima tahun ke depan. Tentang polemik Ahwa dan seputarnya, biarlah NU melakukan self healing-nya sendiri. NU mempunyai pengalaman cukup panjang untuk menyelesaikan problematikanya. Muktamar NU ke 33 ini mengindikasikan bahwa pimpinan NU di masa datang haruslah mempunyai kapasitas intelektual yang memadai.
Oh ya ada satu lagi kisah unik yang terlewat. Di luar sepengatahuan publik, pada suatu malam ada seorang kyai yang ingin mencari makan. Rumah-rumah makan yang enak-enak sudah disebut semua, tapi sang kyai tersebut malah justru menjatuhkan pilihan yang mengejutkan. Dia memilih mie goreng di emperan toko di bilangan Jalan Gus Dur. Saat malam toko-toko di jalanan tersebut memang tutup, dan jalanan pun lengang. Sehingga aktivitas ekonomi berganti menjadi jajanan kuliner.
           Tahukah Anda siapa kyai tersebut? Beliau adalah KH. Musthofa Bisri, ya..., beberapa waktu sebelum menyampaikan pidato yang menggetarkan tersebut, Gus Mus ngemper di pinggir jalan Gus Dur untuk menikmati mie goreng. Jalan itu dulunya bernama Jalan Merdeka. Ketika dirubah menjadi Jalan Gus Dur, Gus Mus pula yang diundang memberikan tausyiah. Pertanyaannya, apakah Gus Mus bisa menyampaikan pidato yang menggetarkan itu karena habis beli mie diemperan toko? Hehehe.

0 komentar:

Post a Comment