01/05/2016

Santri 24 Karat

Santri 24 karat
Kenangan KH. Musthofa Ali Ya'qub

--Penggalan Memori 1971-1975 bersama Prof DR KH Ali Musthofa Ya'qub

"Jam segini, kok sudah tidur, di ?", sergah ustadz Ali Musthofa. Saya reflek mengambil posisi duduk dan ustadz Ali Musthofa menginterogasi saya di ruang depan kamar i satu al-Azhar, sementara saat itu masih jam belajar. Maklum, saya tertidur sembari berpeluk erat kitab Ibn 'Aqil, kecapekaan karena sore hari suntuk bermain sepakbola di lapangan PG Tjoekir bersama "grup bal bal-an Yai Ka'". Sama sekali tidak menyangka malam itu ustadz Ali Musthofa thawaf dari kamar ke kamar dan masuk ke komplek saya.
Tentu, saya tak bisa menjawab apa apa atas pertanyaan ustadz Ali Musthofa yang faktual tadi. Selain benar belaka, saya kedapatan tidur saat jam belajar, juga ustadz Ali Musthofa terkenal pendiam dan tak suka mengobral dalam bertutur kata. Pengikut fanatik "al-shumt hukmun'.
"Ayo bangun dan berwudhu' sana", pinta ustadz Ali Musthofa. Secepat kilat, kendati masih dililit rasa kantuk dan kedua mata masih begitu berat untuk diajak jaga.
Rupanya, karena pernah peroleh teguran itulah, saya kian akrab dengan ustadz Ali Musthofa. Apalagi, ustadz Ali Musthofa sepantaran dengan paman saya, ustadz Abdurrazaq Ma'shum dan ustadz Husaini Ma'shum yang keduanya sama sama secara struktural berada di jajaran pengurus "Majlis Tarbiyah Watta'lim" pesantren Tebuireng.
Sosok ustadz Ali Musthofa berkulit kuning bersih, pendiam, berdialek Jawa Pantura dan memiliki senyuman yang khas. Aura kharismatiknya melekat erat dalam kepribadiannya. Itulah sebabnya, saya yang kenal ustadz Ali Musthofa selepas dari pesantren Seblak dan pindah ke pesantren Tebuireng di paruh awal tahun 1970-an hingga tahun 1975-an tidak mendapati sedikitpun stigma "gojlogan" yang menempel pada diri ustadz Ali Musthofa. Ini berbeda dengan yang lainnya, nyaris melekat julukan baik positif maupun negatif pada dirinya.
Era santri tahun 1970-an mendapat teguran dari ustadznya, meski "sekecil soal ketiduran", menjadi "gulty feeling" yang luar biasa. Perasaan bersalah itu selalu bergelanyut dan hadir setiap saat. Tidak nyaman, merasa malu dan tertekan, apalagi bila ketemu dengan ustadz Ali Musthofa. Sehingga wajar jika melecut agar tidak mengulang kembali kesalahan serupa dan menghunjamlah "taubatan nashuha" ala santri yang begitu dalamnya.
Mungkin istilah ini berlebih lebihan dan terkesan merupakan ego angkatan. Era ustadz Ali Musthofa di pesantren Tebuireng merupakan masa pesantren Tebuireng bertabur kiai dan ustadz berjejuluk "the dream team". Terlebih lagi, adanya menantu hadhratusy syekh Hasyim Asy'ari, KH Idris Kamali. Ustadz Ali Musthofa di antara "santri khusus"-nya Mbah Yai Idris, tidak terlalu sulit memahami bila kelak bobot keilmuan agamanya demikian tinggi. Karena ustadz Ali Musthofa dapat sentuhan model pendidikan berkarakter "ala Yai Idris", yang menurut saya lebih hebat dari paradigma pendidikan Paulo Freire dan Ivan Illich sekalipun.
Siapa santri KH Idris Kamali yang tidak menjadi kiai hebat ? Nyaris sulit menyebutkan atau bahkan memang tidak ditemui santri KH Idris Kamali yang tidak menjadi kiai ?
Jadinya, lumrah, ghalib dan pantas bila ustadz Ali Musthofa menjadi ulama yang hebat. Tidak cuma levelnya nasional, melainkan menembus batas ke-Indonesia-an dan menjadi ulama bertaraf Internasional. Apalagi, ditambah ghirah keilmuannya yang begitu tinggi dan mereguk ilmu keagamaan bertahun tahun di berbagai kampus seperti Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Saud, Universitas Islam King Saud dan Universitas Nidzamia Hyderabad. Sehingga di kemudian hari ustadz Ali Musthofa ditahbiskan sebagai ekspertis hadits.
Namun yang paling melekat di memori saya, arahan ustadz Ali Musthofa di warung Pak Syahri depan pesantren Tebuireng, "Kalau saja semua santri menjadi santri 24 karat. Menjadi santri sungguhan, tidak cuma belajar, namun juga riyadhah. Pastilah hidupnya bermanfaat di tengah tengah masyarakat. Karena, sebaik baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya".
(Ah, seolah berkelebat senyum ustadz Ali Musthofa yang khas dan gaya berjalannya yang saya masih hafal).

0 komentar:

Post a Comment