16/04/2016

Pendidikan Politik Kader Ansor

Pendidikan Politik Kader Ansor 


Kepemimpinan dalam Islam mempunyai sejarah yang panjang. Terhitung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW., umat Islam sudah mulai mencari bentuk kepemimpinannya secara mandiri. Situasi berkembang secara dinamis, sehingga kemudian melahirkan dua aliran besar kepemimpinan, yaitu aliran khilafah, dan aliran syi'ah.
Hal ini terungkap dalam diskusi tematik Rijalul Ansor PAC Jombang, pada Jum’at 15/4/2016 di Masjid Agung Jombang. Acara yang dibalut dengan tahlil dan sholawat tersebut mengambil tema bahasan fiqih siyasah dusturiyah.
Menurut Gus Latif Malik, yang menjadi salah satu nara sumber, fiqih siasyah dusturiyah adalah fiqih yang berbicara tentang konstitusi, yaitu aturan-aturan pokok yang harus dipegang dalam menjalankan politik praktis. Kedinamisan kepemimpinan Islam terekam rapi dalam sejarah, “Tidak ada sesuatu dalam Islam yang banyak menimbulkan pertumpahan darah kecuali politik perebutan kekuasaan.” Demikian ungkap pria yang juga menjabat ketua Rijalul Ansor Jombang ini.
Lebih lanjut dalam diskusi tersebut diungkapkan, bahwa ciri dari aliran khilafah, yang juga biasa disebut ahlus sunnah, adalah musyawarah. Hal ini karena kenyataannya tidak ada nas yang jelas, baik bersumber dari al-Qur’an maupun hadis, yang menyebut pengganti Nabi Muhammad SAW. Ketika Nabi wafat, sebenarnya muncul beberapa nama sebagai pengganti pimpinan umat Islam. “Namun setelah melewati berbagai perundingan, akhirnya sahabat Abu Bakar yang terpilih.” Terang Gus Latif.
Sementara itu, aliran syi’ah ciri utamanya adalah konsep imamah, bahwa pemimpin itu adalah ditentukan oleh wasiat pemimpin sebelumnya. Awal mula munculnya pemikiran syiah ini adalah berpijak pada peristiwa ketika Nabi dan rombongan sahabat pulang dari haji wada’. Ditengah perjalanan, berhenti di sebuah telaga untuk istirahat. Pada saat itu tiba-tiba Nabi bersabda, barang siapa yang menganggap saya sebagai maula (pemimpin?), maka anggaplah Ali sebagai maula, sembari tangan Nabi mengangkat tangan sahabat Ali.
Pernyataan Nabi ini di kemudian hari ketika Beliau sudah wafat, digunakan dasar oleh orang-orang yang fanatik dengan Ali, menganggap Ali adalah pengganti yang sah dari Nabi Muhammad SAW. Kontroversi pun terjadi, sebenarnya yang dimaksud Nabi tersebut, Ali sebagai pemimpin apa?. “Namun pada kenyataannya sahabat Ali sendiri baiat kepada sahabat Abu bakar sepeninggalan Nabi.” Tambah Gus Latif.
Dua aliran kepemimpinan tersebut menurut Gus Latif, mempunyai titik kompromi yaitu berpijak pada ijtihad atas nash sunnah, Karena baik ahlus sunah maupun syiah, sama-sama memakai hadis. tetapi yg membedakan adalah jika khilafah berpijak pada ijtihad atas sunnah plus konsesus /musyawaroh bersama ummat (jama'ah), sementara kelompok syi'ah ngotot dengan eklusifisme ijtihadnya yg parsial.
Pada gagasan khilafah, persatuan lah yang paling utama bagi umat Islam. Sejarah kemudian berjalan dinamis dan peradaban Islam tumbuh berkembang di seluruh dunia.  Namun sayangnya,  persatuan tersebut tidak bertahan abadi. Selepas tumbangnya khilafah Usmaniyah, kepemimpinan umat Islam terpolarisasi menjadi poros Arab dan poros Mesir.
Di akhir penjelasannya Gus Latif mengungkapkan sebuah fakta yang menarik, bahwa salah satu misi komite Hijaz yang dipimpin Kyai Wahab Hasbulloh, adalah kembali menyatukan dua poros ini. Tapi misi ini belum berhasil.  “Namun demikian keinginan tersebut tidak pernah padam. Pasca kemerdekaan,  Kyai Wahab kemudian mendorong Bung Karno untuk mengadakan Konfrensi Asia Afrika.
"Bersatunya negara bangsa-negara bangsa, maupun kerajaan-kerajaan Islam di seluruh dunia dalam bingkai union states of muslim countries, misalnya, sebenarnya adalah aplikasi paling realistis dari konsep khilafah dalam konteks zaman modern saat ini.  Dan inilah gagasan besar KH Wahab Hasbullah, ulama pesantren (NU), melalui gagasan Kongres Islam Asia-Afrika bersama Bung Karno." Pungkasnya.
Sementara itu dalam pandangan yang berbeda, Wakil Ketua DPRD Jombang Zubaidi Muhtar mengungkapkan, berkenaan dengan kepemimpinan dalam masyarakat, yang harus dipahami adalah bahwa perubahan di masyarakat tidak bersifat revolusioner, tetapi evolusioner. Oleh karenanya harus ada kesinambungan. Nilai-nilai yang sudah baik tidak perlu dihilangkan, sambil melakukan pembaharuan-pembaharuan.
Dalam kesempatan tersebut juga hadir Ketua PKB Jombang, Mas’ud Zuremi, sebagai representasi pelaku politik praktis, yang kebetulan saat ini sedang mengusung calon gubernur Jawa Timur. “Holopis kontol baris itu mempunyai sejarah panjang pada budaya kita. Lalu kita jadikan jargon, sebagai simbul kebersamaan dan kesatuan.” Demikian jelasnya.

Meskipun mengundang politisi praktis, menurut M. Fathoni Mahsun, ketua PAC Ansor Jombang, tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung, melainkan murni diskusi ilmiah. “Kita tidak terikat komitmen apa-apa, dan juga tidak dapat apa-apa, walau sepeser pun.” Jelasnya.

0 komentar:

Post a Comment