11/04/2017

Ini Pengalamanku (ikut Istighosah Kubro) Mana Pengalamanmu?

 

Saya baru nyadar kalau tempat parkir zona III  jaraknya masih 2 Km ke lokasi GOR Deltras Sidoarjo. Letaknya berada di Perum Puri Indah, yang merupakan parkiran paling ujung.  Dalam perjalan menuju GOR tersebut, karuan saja gerundelan muncul tanpa kendali. Kami, walaupun pemuda Ansor, tapi tidak akrab dengan olah raga, maka pantas saja kalau lemak mulai menggumpal disana-sini. Kalau ngopi..., jangan tanya, sampai larut malam pun kami jabanin.

Meski demikian kami terus ikut arus, mau berhenti? Malu dong dengan jama’ah yang lain, ada, yang sudah kakek-kakek, nenek-nenek, ibu-ibu yang gendong anak, masak iya kami harus berhenti untuk istirahat? Tapi untungnya sudah hampir jam 4 pagi, sudah menjelang waktu sholat subuh, kami satu rombongan akhirnya kompak untuk cari mushola atau masjid terdekat, ya itung-itung sambil istirahat barang semenit-dua menit.

Setelah sholat subuh usai, perjalanan pun dilanjutkan, kami terus menyusuri jalan raya yang sudah penuh sesak dengan jamaah, dan kendaraan yang berlalu-lalang. “Kalau tidak perintah Kyai kita gak mau capek-capek begini,” gerutu ku pada teman yang lain. Teman-teman juga memberi tanggapan, walhasil sambil berjalan kami mempunyai obrolan, bertema “Kyai”. Ndilalah, tak lama kemudian, dari arah belakang, ada rombongan Kyai Asrofil, Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang, lengkap dengan Sekretaris, Bendahara, dan perwakilan Syuriyah, perlahan tapi pasti rombongan para Kyai ini menyalip kami.

Karuan saja ini menyinggung perasaan, rombongan kyai yang mayoritas sudah sepuh ini berjalan lebih tangkas dari kami yang masih muda-muda, bahkan hampir tak terkejar. Tidak ada tanda-tanda mengeluh, apalagi mencari-cari alasan untuk istirahat. Maka dengan tekad baja, kami menempel terus dibelakang beliau-beliau ini. Walhasil, kami pun akhirnya sampai lokasi GOR Deltras Sidoarjo, ketika kondisi masih relatif sepi. Akhirnya, kami  memutuskan untuk tidak langsung masuk, tapi makan dulu dan belanja.., Jiiaah kayak ibu-ibu ya. Itu tuh, cari barang yang tidak selalu ada di toko-toko, yaitu jaket Banser.

Tak taunya, begitu selesai ternyata kondisi GOR sudah berubah sama sekali, pintu utama yang tadinya dibuka kini ditutup oleh puluhan Banser, pintu sebelah kiri yang tadinya arus massa bebas masuk, kini sudah ada muntahan massa yang dialihkan ke pintu sebelah kanan, namun begitu di depan pintu sebelah kanan pintu juga sudah ditutup..., masya Allah padahal hanya selisih beberapa menit saja, kita sudah tidak bisa masuk. Rombongan terakhir yang kami lihat berhasil melesat masuk ke GOR adalah yang membawa bendera Lirboyo.

Tapi percayalah.., bahwa di luar juga tidak kalah heboh, saya dan teman-teman yang berada persis di depan pintu utama GOR menyaksikan  bagiamana massa terus berdatangan, masing-masing seperti saya, pingin masuk ke GOR tapi terhenti, yang akhirnya semakin lama-samakin menumpuk di depan GOR, hingga akhirnya halaman depan GOR itu penuh sesak, sampai-sampai penjual asongan yang tadinya leluasa mondar-mandir, kini tidak bisa lagi, padahal hanya selisih beberapa menit saja.

Kami berada di tengah-tenggah lautan manusia dari latar belakang berbeda-beda, ada para ustadz, santri-santri pesantren, anggota IPNU-IPPNU, ratusan Banser, dan ibu-ibu. Saya juga menyaksikan ada Banser cilik berpakaian lengkap, termasuk juga sepatu laras, dia digandeng entah ayahnya entah Pak De nya yang juga berseragam Banser. Dari sekian yang hadir, ternyata bukan dari kalangan santri saja, tapi juga ada  mantan preman. Dari mana saya tahu?, sepintas sebelumnya ada bapak-bapak yang mencoba baju koko yang akan di belinya dari salah satu pedagang di pinggir jalan, ternyata ketika dia melepas bajunya untuk mencoba baju baru, nampak tato di lengan kanannya.

Saya sempat menanyai nenek-nenk berbaju putih yang ada disebelah saya, nenek-nenek ini membawa properti lengkap, mulai alas, payung, serta yang tidak boleh ketinggalan adalah aneka makanan yang ditaruh di tasnya. “Dari mana, Bu?” tanya ku. Dia menjawab dari Tulangan. “Naik apa ke sini?.” “Rombongan naik Lin,” jawabnya singkat seperti sms gadis remaja yang jutek dengan pacarnya. Sampai radius 50 meter samping kanan saya adalah ibu-ibu yang kurang lebih berusia sama seperti dia. Sedangkan tiga depa di sebelah kiri ada gadis cantik, tapi apalah daya, posisinya terlalu jauh untuk kondisi massa yang terlalu padat. Jadinya nasib saya hanya mewawancarai nenek-nenek asal Tulangan itu.

Sementara itu, proses rangkaian acara berjalan terus, sesuai jadwal acara sudah dimulai pukul 05.30, ketika suasana masih redup dan lampu GOR belum dimatikan. Suasana istighosah berlangsung khusu’, saya lihat nenek-nenek disamping ku juga segera ikut tenggelam dalam kekhusu’an itu, tangannya mulai memutar tasbih, sebagaimana semua orang dengan teks istighosah yang sudah di tangan masing-masing. Aku? Aku pun tenggelam, sampai-sampai tak tahu kalau teks istighosah yang ku taruh di depan ku lenyap entah kemana (ini entah khusu’ entah ngantuk). Aku doakan siapa pun  yang mengambilnya akan dapat pahala, karna niatnya pasti untuk kebaikan, berdzikir.

Ketika matahari mulai naik acara masih berlangsung. Ibu-ibu sudah banyak yang memekarkan payungnya. Ini tanda jam’ah yang berpengalaman, atau katakanlah jama’ah yang cerdik. Sedangkan aku, boro-boro payung, baju aja hanya yang nempel di badan. Yang lain ada yang menggunakan surban, bendera, atau sajadah untuk melindungi diri dari terik matahari. Namun saat itu pun tiba, nenek-nenek disampingku buru-buru bergegas karena mengira doa sudah selesai, padahal masih ada serangkaian doa yang dilantukan oleh para kyai secara bergantian, tapi aku jadi beruntung karena dapat koran bekas alas yang ditinggalnya. Aku tidak menyia-nyiakannya, aku pungut untuk kujadikan penutup kepala. Orang menyangka kalau aku menggunakannya hanya untuk melindungi wajah dari terik matahari, padahal agar tidak terlihat bahwa aku juga masih ngantuk berat.

Acara pun usai, namun dari sound sistem terdengar komando agar jama’ah yang berada di GOR tidak keluar dulu, karena di luar kondisinya padat. Aku baru menyadari itu, tidak hanya di halaman GOR yang penuh sesak, di jalanan  pun juga sama. Sampai-sampai ketika keluar kami hanya bisa berjalan merayap. Sandalku berkali-kali terinjak orang dari belakang, karena sangking padatnya. Sepanjang 2 Km menuju parkiran, orang masih berjubel, padahal sebagiannya sudah terpecah menuju ke masjid, mushola, atau POM untuk buang air kecil, termasuk aku. Butuh hampir setengah jam untuk antri buang air kecil di POM bensin, itu pun sudah antri dua-dua. Tau artinya? Yang masuk kamar mandi itu dua orang- dua orang. Aih-aih.

 

M. Fathoni Mahsun

Kader Ansor Jombang

0 komentar:

Post a Comment