16/03/2016

Santri Masa Modern

Santri goes international

(dimuat di edisi terbaru Majalah Pesantren Tebuireng)

Bisakah santri sekarang mengikuti jejak para ulama kita mengajar dan mempublikasikan karyanya di level internasional? Ulama tempo doeloe itu luar biasa hebatnya, mereka bukan hanya sekedar belajar tapi juga mengajar di Masjidil Haram. Kiai Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin Padangi, atau bahkan Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari juga mengajar di Masjidil Haram di masanya, yang menunjukan kedalaman pengetahuan dan kesalehannya. Selama mengajar di Masjidil Haram, Kiai Hasyim mempunyai sejumlah murid internasional, antara lain Syaikh Sa’dullah al-Maimani (mufti India), Syaikh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), dan al-Syihab Ahmad bin Abdullah (Suriah). Kitab karya Kiai Ihsan Jampes dibaca dan dipelajari sampai ke Afrika, menembus batas-batas benua.

Bagaimana dengan para santri sekarang? Cukupkah berbangga pernah menyantri sekan tahun di pondok, atau berbangga hafal 1000 bait Alfiyah, juga hafal sejumlah kitab? Dengan kata lain, cukupkah kita menjadi konsumen semata dan tidak bergeser menjadi produsen ilmu? Dengan kata lain, ulama Indonesia harus lebih sering lagi menulis kitab dalam bahasa Arab dan/atau Bahasa Inggris agar buah pikiran santri nusantara juga dibaca dan dikaji oleh muslim di belahan dunia lainnya. Dengan menelorkan karya yang tidak hanya berupa pengulangan dari hafalan yang ada kita akan turut mewarnai sejarah pemikiran Islam di level internasional.

Bisakah? insya Allah bisa. Kiai Afifuddin Muhajir misalnya meneruskan tradisi Kiai Sahal Mahfud, Kiai Nahrawi Abdus Salam dan para masyayikh lainnya yang mengarang kitab dalam bahasa Arab. Saya yakin masih banyak kiai lainnya yang memiliki tradisi menulis yang baik. Tantangannya tentu bagaimana agar kitab karangan para Kiai sekarang itu bisa menembus dunia internasional, dalam arti dipelajari dan ditelaah bahkan kalau bisa dijadikan buku wajib untuk para pelajar, santri dan mahasiswa di dunia Islam lainnya.

Itu artinya penekanan pada hafalan harus ditambah dengan kemampuan mengarang kitab. Rasanya cukup aneh kalau ratusan santri yang dikirim belajar di Timur Tengah, begitu meraih gekar Lc buru-buru pulang dan akhirnya hanya menambah daftar penceramah atau Ustadz lokal semata. Kita tentu berharap mereka bisa melakukan lebih dari itu. Selain jangan buru-buru pulang, dan tidak puas hanya meraih Lc, kita sangat mendambakan mereka lanjut sampai meraih gekar doktor dan kemudian kalau bisa juga mengajar di universitas Islam di Timur Tengah. Tidak cuma jadi santri di al-Azhar tapi juga bisa jadi Kiai di al-Azhar!

Bersambung....

0 komentar:

Post a Comment