M. Fathoni Mahsun
Tak terasa sudah satu tahun berlalu perhelatan
Muktamar NU di Jombang. Saat itu Muktamar yang diselenggarakan pada bulan
syawal 1436 H atau bertepatan dengan 1-5 Agustus 2015, kesibukannya mulai terasa sejak akhir bulan puasa, dan memuncak
sesaat setelah memasuki bulan syawal. Di Jombang ketika itu yang dipikirkan
sudah bukan lebaran, tapi Muktamar. Saat ini hiruk pikuk seperti itu sudah
tidak ada lagi, hanya kenangan yang mengendap.
Selain persiapan teknis di lapangan, jauh-jauh hari
sudah beredar pemikiran yang akan digeber di waktu Muktamar, dua yang paling
pokok adalah pemilihan dengan menggunakan sistem Ahlul Hal Wa al-Aqdi (AHWA) dan Islam Nusantara. Ahwa masih menyisakan
polemik hingga saat ini, sedangkan Islam Nusantara menjadi gagasan yang terus
berkembang.
Kita ingat bahwa pembahasan Ahwa sangat alot. Ahwa pembahasannya
dilakukan di komisi organisasi, yang bertempat di Denanyar ini memunculkan
perdebatan sengit, bahkan deadlock. Ketika dibawa ke forum pleno yang bertempat
di alun-alun Jombang, mahluk tak bernyawa bernama Ahwa ini masih saja
mengundang perdebatan yang berlarut-larut, bahkan nyaris tak ada ujung. Hingga
akhirnya Rois Syuriah KH. Musthofa Bisri turun tangan.
Kyai yang mahir bersajak dan akrab dipanggil Gus Mus
ini kemudian menyampaikan pidato yang menggetarkan itu “.....Mohon dengarkan saya, dengan hormat kalau perlu saya mencium
kaki-kaki Anda semua agar mengikuti akhlakuk karimah, akhlak KH Hasyim Asy'ari
dan pendahulu kita....”. Suasana gaduh sebagaimana diberitakan media masa ketika itu, langsung
senyap, tidak ada lagi yang mendebat, tidak ada lagi yang bersitegang, yang ada
malah cucuran air mata. Jika Gus Mus se-berkarisma itu, bagaimana dulu karisma
Kyai Hasyim yang namanya disebut-sebut Gus Mus itu ya....?
Di luar urusan orang tua-tua yang penuh hiruk-pikuk
demikian, ada sekelompok anak muda yang
juga menyelenggarakan “muktamar”, berjuluk Musyawarah Kaum Muda NU (KMNU).
Bedanya, jika di muktamar orang tua-tua, forumnya gaduh, Musyawarah Kaum Muda
NU ini berlangsung gayeng, walaupun
dengan fasilitas seadanya, lesehan di atas karpet, serta beli kopi dan makan
sendiri.
Peserta
yang datang pun berasal dari berbagi daerah, mereka jauh-jauh hari memang sudah
niat datang, bukan kebetulan mampir, dengan cara mendaftar secara online.
Anak-anak muda ini juga mencoba membangun identitasnya sendiri dengan
mengenakan kopyah, banyak juga yang mengenakan blangkon, serta dengan berbagai
macam gayanya yang lain. Terlihat benar mereka ingin mengekspresikan Islam
Nusantara. Barangkali mereka tidak saling mengenal, tapi mereka datang dengan
satu pikiran “Bagaimana ber-NU di masa mendatang.”
Kyai
Maimun Zubair dalam mauidhohnya mengatakan, bahwa Musyawarah KMNU ini
mengingatkannya pada peristiwa di tahun 1934, saat terbentuknya Ansor Nahdlatul
Oelama’ (ANO). “Dulu suasananya persis seperti ini, kalau orang tua-tua bikin
tempat sendiri untuk melaksanakan acaranya, anak-anak muda ketika itu juga
membuat tempat tersendiri.”
Menurut
Kyai Maimun, Sebelum menjadi ANO dulu segala sesuatunya masih gabung dengan NU,
tapi setelah jadi ANO, maka anak-anak muda itu membuat muktamar sendiri, sudah
menjadi organisasi sendiri yang mandiri. Mbah Mun mengisyaratkan bahwa peristiwa berkumpulnya anak-anak muda di Muktamar NU
ke-33, bukan suatu kebetulan, bahwa ada hubungannya dengan peristiwa
terbentuknya ANO di tahun ’34, yaitu bangkitnya generasi muda NU.
Peneguhan
Islam Nusantara memang ekspresinya lebih terasa di forum anak-anak muda. Karena
di forum anak-anak muda itu dibahas, bagaimana pergesekan NU dengan seni dan
budaya, bagaimana pergesekan NU dengan IT dan media, sampai bagaimana NU
bergesekan dengan politik dan kekuasaan. Mereka bahkan juga membuat buku khusus
yang mengulas tentang Islam Nusantara.
Musyawarah
KMNU senyatanya bukan satu-satunya forum ilmiyah nya anak-anak muda NU, tapi
juga ada Kajian Aswaja (Kiswah). Para pembicara di forum Kiswah ini biasa
disebut ustadz. Namun ketika mendengarkan paparan materinya di serambi masjid
Tambak Beras, sepertinya kualitas keilmuannya sudah setaraf kyai, hanya karena
usianya yang masih muda saja sehingga belum disebut kyai.
Selain
itu, ada juga forum-forum bedah buku yang tersebar di empat pesantren dengan
pembicara sekelas nasional dan internasional, seperti Martin Van Bruinessen,
peneliti ke-Islaman asal Belanda, yang berbicara di Ponpes Al-Aziziyah
Denanyar. Tidak hanya buku-buku yang di bedah di forum-forum, ada juga
buku-buku dan majalah yang tidak dibedah tapi ditulis oleh kalangan NU dan
dijajakan di bazar-bazar yang turut menguatkan nuansa intelektual di muktamar NU
33 tersebut. Bahkan penulis menemukan majalah yang dirilis sejak tahun 2012
oleh PP LAKPESDAM NU yang ‘sudah’ menurunkan edisi khusus tentang Islam
Nusantara.
Tapi,
Muktamar NU di Jombang tidak hanya tentang hal-hal besar semacam itu, namun
juga terselip hal-hal unik yang luput dari pemberitaan media. Misalnya saja
prihal Kyai-kyai yang “menyembunyikan diri”, mereka datang di Jombang, tapi
mereka tidak mau orang tahu “persembunyiannya”. Walhasil, panitia, juga Banser
yang berjaga, bahkan sampai Patwal tidak diperkenankan mengantarkan ke tempat
“persembunyian” itu. Untuk menyempurnakan usaha menyembunyikan diri tersebut
bahkan ada yang sampai mengganti plat nomor mobilnya, dengan plat nomor Jombang.
Itulah
kenangan Muktamar di Jombang, namun masalahnya Muktamar diselenggarakan bukan
hanya untuk dikenang, tapi untuk mempersiapkan NU lima tahun ke depan. Tentang polemik
Ahwa dan seputarnya, biarlah NU melakukan self
healing-nya sendiri. NU mempunyai pengalaman cukup panjang untuk
menyelesaikan problematikanya. Muktamar NU ke 33 ini mengindikasikan bahwa
pimpinan NU di masa datang haruslah mempunyai kapasitas intelektual yang
memadai.
Oh
ya ada satu lagi kisah unik yang terlewat. Di luar sepengatahuan publik, pada
suatu malam ada seorang kyai yang ingin mencari makan. Rumah-rumah makan yang
enak-enak sudah disebut semua, tapi sang kyai tersebut malah justru menjatuhkan
pilihan yang mengejutkan. Dia memilih mie goreng di emperan toko di bilangan
Jalan Gus Dur. Saat malam toko-toko di jalanan tersebut memang tutup, dan
jalanan pun lengang. Sehingga aktivitas ekonomi berganti menjadi jajanan
kuliner.
Tahukah
Anda siapa kyai tersebut? Beliau adalah KH. Musthofa Bisri, ya..., beberapa waktu sebelum
menyampaikan pidato yang menggetarkan tersebut, Gus Mus ngemper di pinggir jalan Gus Dur untuk menikmati mie goreng. Jalan
itu dulunya bernama Jalan Merdeka. Ketika dirubah menjadi Jalan Gus Dur, Gus
Mus pula yang diundang memberikan tausyiah. Pertanyaannya, apakah Gus Mus bisa
menyampaikan pidato yang menggetarkan itu karena habis beli mie diemperan toko?
Hehehe.