C. Ruang
Lingkup ASWAJA NU
Paham Ahlussunah Waljama’ah meliputi tiga ruang
lingkup yaitu : Lingkup akidah, lbadah, dan akhlak. selanjutnya, untuk
membedakan lingkup-lingkup Ahlussunnah Waljamaah tersebut dengan
lingkup-lingkup lain, perlu ditegaskan dengan menyebut masing masingnya menjadi
:
1. Akidah Ahlussunnah waljamaah,
2. Ibadah (fiqh) Ahlussunnah Waljamaah, dan
3. Akhlak Ahlussunnah Waljamaah.
- Akidah Ahlussunnah Waljamaah
Adapun institusi akidah (kalam) yang
sejalan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah ialah institusi akidah yang
dicetuskan oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi. Meski sama persis pemikiran kalam
mereka berdua, tetapi pemikirannya tetap commited terhadap petunjuk
naql. Keduanya sama-sama mempergunakan akal sebatas untuk memahami naql, tidak
sampai mensejajarkannya apalagi memujanya. Bahkan secara terang-terangan
melalui karya-karyanya, keduanya sama-sama menolak dan menentang logika
Mu’tazilah yang terlalu memuja akal dan nyaris mengabaikan petunjuk naql.
Dengan demikian, maka dalam konteks historis,
paham Ahlussunnah Waljamaah adalah sebuah paham yang dalam lingkup akidah
mengikuti pemikiran kalam al Asy’ari
atau al-Maturidi. Yang institusinya kemudian disebut al-Asy’ariyah atau
al-Maturidiyah. Dan sebagai institusi besar, keduanya tidak luput dari
tokoh-tokoh pengikut yang selain menyebarkan, juga mengembangkan pemikiran
kalam yang dicetuskan oleh pendirinya.
Beberapa nama tokoh yang menyebar-kembang kan pemikiran kalam
al-Asy’ari dan al-Maturidi itu, tercatat nama-nama besar seperti: Al-Baqilani,
al-Juwaini (imam al-Haramain), al-Isfirayini, Abu Bakar al-Qaffal, al-Qusyairi,
Fahr al-Din al-Razi, Izz al-Din’Abd al Salam, termasuk al Ghazali dan
al-Bazdawi. Dan pemikiran kalam yang banyak masuk serta mewarnai umat Islam di
Indonesia ialah pemikiran kalam al-Asy’ari yang telah dikembangkan oleh al-Ghazali
yang lebih dikenal sebagai tokoh sufistik.
Jauh (berabad-abad) pasca tokoh-tokoh
tersebut, di Indonesia dikenal pula tokoh-tokoh al-Asy’ariyah (Asya’irah)
seperti: Syekh al-Sanusi, Syekh al-Syarqawi, Syekh al-Bajuri, Syekh Nawawi
Banten, Syekh al-Tarabilisi, Syekh al-Fatani, dan lain-lain. Yang tidak
mustahil. pemikiran kalam mereka sudah berbeda dengan pemikiran kalam
al-Asy’ari sendiri atau setidak-tidaknya ada nuansa lain.
- Fiqh Ahlussunnah Waljamaah
Dalam konteks historis, institusi fiqh yang
sejalan dengan konteks substansial paham Ahlussunnah Waljamaah ialah empat
mazhab besar dalam fiqh Islam, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Bahwa mazhab Hanafi dianut pula oleh mu’asis (pendiri) kalam at
Maturidiyah, yakni Abu Mansur al-Maturidi. Sedangkan mazhab Syafi’i dianut pula
oleh muassis kalam at Asy’ariyah, yakni Abu al-Hasan al-Asyari.
Tak bisa dipungkiri, bahwasanya di antara
keempat fiqh tersebut satu sama lain banyak ditemui perbedaan di sana sini. Akan tetapi,
perbedaan-perbedaan itu masih berada dalam koridor ikhtilaf-rahmat (perbedaan
yang membawa rahmat). Abu Hanifah yang dikenal sebagai ahl al-ra’yi (banyak
menggunakan akal/logika), tidak mengklaim pendapatnya sebagai terbenar. Dan ketiga
Imam yang lain pun tidak pernah menyalahkan pendapat mazhab yang lain.
Keempat Imam Mazhab tersebut sama-sama commited
terhadap petunjuk al-Quran dan al-Sunnah. sama-sama berpola-pikir Taqdim al-Nas
‘ala al-’aql (mendahulukan petunjuk nas daripada logika). Dalam berijtihad,
mereka tidak mengedepankan akal kecuali sebatas untuk beristimbat (menggali
hukum dan al Quran dan al-Hadits), tidak sampai mensejajarkan apa lagi
mengabaikan nas. Dan inilah substansi paham Ahlussunnah Waljamaah.
- Akhlak Ahlussunnah Waljamaah
Adapun lingkup yang ketiga ini, paham
Ahlussunnah Waljamaah mengikuti wacana akhlak (tasawuf) yang dikembangkan oleh
tokoh-tokoh seperti al Ghozali, al junaid, dan tokoh-tokoh lain yang sepaham termasuk
Abu Yazid al-Bustami. Pemikiran akhlak mereka ini memang tidak melembaga
menjadi sebuah mazhab tersendiri sebagaimana dalam lingkup akidah (kalam) dan
fiqh. Namun wacana mereka itu sejalan dengan substansi paham Ahlussunnah Waljamaah
serta banyak diterima dan diakui oleh mayoritas umat Islam.
Diskursus Islam kedalam lingkup akidah,
ibadah, dan akhlak ini bukan berarti pemisahan yang benar-benar terpisah. Ketiga-tiganya
tetap Integral dan harus diamalkan secara bersamaan oleh setiap muslim,
termasuk kaum Sunni” (kaum yang berpaham Ahlussunnah Waljamaah). Maka seorang
muslim dan seorang sunni yang baik, dalam berakidah, dalam beribadah sekaligus
dalam berakhlaq. Seseorang baru baik akidah dan ibadahnya saja Ia belum bisa dikatakan
baik, jika akhlaknya belum baik.
Oleh karena itu, maka lingkup akhlak tidak
bisa dipandang sebelah mata. Ia justru teramat penting dan menjadi cerminan
Ihsan dalam diri seorang muslim. Jika Iman menggambarkan akidah, dan Islam
menggambarkan ibadah; maka akhlak akan menggambarkan ihsan yang sekaligus
mencerminkan kesempurnaan iman dan Islam pada diri seseorang. Iman
ibarat akar, dan “Islam” ibarat pohonnya; maka “Ihsan” ibarat buahnya.
Mustahil sebatang pohon akan tumbuh subur
tanpa akar dan pohon yang tumbuh subur serta berakar kuatpun akan menjadi tak
bermakna tanpa memberikan buah secara sempurna. Mustahil seorang muslim
beribadah dengan baik tanpa didasari akidah kuat, dan akidah yang kuat serta
ibadah yang baik akan menjadi tak bermakna tanpa terhiasi oleh akhlak mulia.
Idealnya, ialah berakidah kuat, beribadah
dengan baik dan benar, serta berakhlak mulia. Beriman kuat, berislam dengan baik
dan benar, serta berihsan sejati. Maka yang demikian inilah wujud insan
kamil/(the perfect man) yang dikehendaki oleh paham Ahlussunnah waljamaah.
0 komentar:
Post a Comment