Karomah Kyai Kholil Bangkalan
Adapun karomah Mbah Kholil
selanjutnya:
k. Melindungi calon santrinya dari musibah
Pada kisah
yang lain, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari musibah,
padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah Alas
Roban, Batang, Pekalongan. Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad
Amin, ia berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju
Bangkalan, Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil. Mereka tidak membawa bekal
apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang,
serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu. Setelah berjalan
kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di
tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan. Hutan itu terkenal angker,
sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu
besar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya.
Namun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan
itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya kalau
melawan. Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari
tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya
biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian
bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok. Namun
setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus
sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,”
kata orang itu sambil memasuk kan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya
sehingga pecah menjadi dua. Terbelalak mata enam orang calon santri itu
menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan
barang-barang kalian,” hardik orang itu. Amin, yang paling berani di antara
mereka, menjawab, “Kalau barang-barang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan
perjalanan ke Bangkalan.” Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas.
“Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya. “Kami mau berguru kepada Mbah
Kholil,” jawab Amin. Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular
berbisa. Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil. “Jadi kalian mau nyantri sama
Kiai Kholil?” “Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan. Mereka gembira
karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu,
serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu. “Kalian tidur saja di sini,
dan aku akan menjaga kalian semalaman.” Makin ketakutan saja para remaja itu.
Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur
semalaman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka
shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi. “Ayo kita berangkat,” ujarnya.
“Kemana ?” tanya para calon santri. “Akan kuantar kalian ke luar dari hutan ini
agar tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak ramah. Dalam hati
mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu
terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok, dan menjual
kalian kepada onderneming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu
saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri
Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalahkan Kiai Kholil dengan ilmu
putihnya.” Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke
Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai
Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.
0 komentar:
Post a Comment