Tadarus Sejarah Ansor #1
Choirul Anam, atau yang akrab disebut Cak Anam
sempat galau ketika diminta untuk menulis sejarah Ansor, terlebih untuk
menentukan kapan Ansor lahir. Pasalnya dalam menentukan kelahiran Ansor
terdapat beberapa pilihan tanggal; 1949 munculnya nama GP. Ansor, 1934 lahirnya ANO, dan 1932 terbentuknya
organisasi Pemuda NU dengan nama PNU. Kalau tahun 2016 ini adalah Harlah Ansor
yang ke 82, maka yang dijadikan patokan berarti tahun 1934.
Tiga angka tahun ini selanjutnya kita akan jadikan
pijakan pembahasan. Namun rasanya kurang lengkap kalau tidak sekalian merunut
ke pangkalnya di masa sebelumnya. PNU
yang muncul pada 1932, sebenarnya adalah penyempurnaan dari Persatuan Pemuda
Nahdlatul Ulama (PPNU) yang lahir pada 1931. Organisasi yang terbentuk di
Surabaya ini dipimpin oleh Abdullah Ubaid dan Thohir Bakri.
Siapakah Abdulloh Ubaid dan Thohir Bakri? Mereka
adalah ketua dan wakil ketua Syubbanul Wathan. Apalagi ini Syubbanul Wathan? Ia
adalah sebuah organisasi yang terbentuk dua tahun sebelum NU lahir, yaitu pada
1924 di Surabaya. Subbanul Wathan ini sendiri adalah organisasi koalisi antara
Nahdlatul Wathon (NW) yang dibentuk pada 1916 dan Taswirul Afkar (TA) yang
dibentuk pada 1918.
Nah cikal bakal terbentuknya GP. Ansor itu
sebenarnya berawal dari sini. Kedua organisasi tersebut sama-sama berasal dari
Surabaya. NW didirikan oleh KH. Wahab Hasbulloh, KH. Mas Mansyur, dan H. Abdul
Kahar saudagar terkenal saat itu, dan juga Soejoto seorang arsitek terkenal.
Selain itu juga dibantu oleh pimpinan Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto. Dalam
waktu singkat NW ini mendapat sambutan hangat, sehingga muncul cabang-cabangnya
di berbagai daerah, seperti di Gresik, Sidoarjo, Malang, dan bahkan Semarang.
Kegiatannya berupa pencerahan mulai masalah keagamaan, kemasyarakatan, maupun kebangsaan,
yang dilakukan tiga hari dalam seminggu.
Sementara itu TA diinisiasi oleh KH. Wahab Hasbulloh,
KH. Mas Mansyur, KH. Dachlan Achyad (pengasuh Ponpes Kebondalem), dan P. Mangun
(Anggota perhimpunan Budi Oetomo). Dalam perjalanannya, dua tokoh utama pendiri
NW dan TA ini pecah, karena perbedaan cara pikir, yang satunya modernis, yang
satunya tradisionalis. KH. Mas Mansyur akhirnya bergabung dengan Muhammadiyah
dan menjadi tokoh besar di sana, sedangkan KH. Wahab sendiri dikenal sebagai
pendiri NU.
Perpecahan tersebut, tidak menyurutkan keinginan
anak-anak muda hasil didikan mereka untuk mendirikan organisasi kepemudaan.
Akhirnya dua kubu pemuda pengikut Kyai Wahab dan Kyai Mas Mansyur tersebut
mengadakan rapat gabungan. Terjadi perdebatan seru di sana, kedua belah pihak
saling bersitegang, hingga akhirnya rapat gabungan tersebut tidak menghasilkan
apa-apa.
Dua tahun kemudian yaitu pada 1924, pemuda-pemuda
pendukung Kyai Wahab, yang berjumlah 65 orang, yang telah digembleng dengan
media kursus, tetap terus melanjutkan mendirikan organisasi kepemudaan. Maka
lahirlah Subbanul Wathan yang diketuai oleh Abdulloh Ubaid, dan Tohir Bakri
sebagai wakil ketua. Organisasi ini mengalami perkembangan yang luar biasa.
Menurut Cak
Anam, bisa jadi perkembangan pesat Subbanul Wathan karena figur Abdulloh Ubaid
yang memukau di depan umum. Selain itu Tohir Bakri juga tidak kalah, dia juga
mempunyai publiknya sendiri, karena setiap malam jum’at suaranya yang mengalun
merdu terdengar di radio. Tohir Bakri terkenal sebagai qori’ terbaik waktu itu.
Minat pemuda yang ingin bergabung ternyata juga dari kalangan di bawah 17
tahun, yang akhirnya kemudian mereka dibuatkan wadah sendiri bernama Ahlul Wathan.
Ketika NU lahir pada 1926, tokoh-tokoh muda yang
aktif di Subbanul Wathan, dan juga Da’watus Syubban (organisasi yang juga
didirikan oleh murid-murid Kyai Wahab, berkedudukan di kawasan Ampel atau utara
tugu pahlawan, sedangkan Subbanul Wathan di selatan Tugu Pahlawan atau Bubutan)
langsung diserap masuk untuk mengurusi NU. Abdulloh Ubaid kemudian menjadi
Syuriyah NU Cabang Surabaya, sedangkan Muhtadi (dari Da’watus Syubban) menjadi
tanfidziyah. Tohir Bakri malah menjadi wakil ketua tanfidziyah, setahun
kemudian menjadi ketua hingga tahun 1950-an.
Walhasil, organisasi-organisasi kepemudaan yang
mereka pimpin berjalan melambat. Maka akhirnya Abdulloh Ubaid dan Tohir Bakri
pada 1932 menginisiasi berdirinya Pemuda Nahdlatul Ulama (PNU) sebagaimana
tersebut di bagian awal tulisan ini. Gagasan PNU ini kemudian dibawa kepada
Kyai Wahab. Dalam menanggapi PNU, Kyai Wahab lantas menyitir beberapa ayat; Ali
Imron 52, al-Maidah 111-112, dan as-Shaf 14, yang mengisahkan tentang sahabat Hawariyin
yang setia menolong perjuangan Nabi Muhammad SAW., terutama ketika Nabi dan
para sahabat hijrah ke Yastrib (Madinah). Sehingga Nabi akhirnya memberi
penghormatan kepada mereka dengan sebutan Ansor.
Dari wejangan Kyai Wahab tersebut akhirnya PNU
dirubah menjadi Ansor Nahdlatul Oelama (ANO) pada 1934. Dengan harapan ANO
dapat mengambil keteladanan dari sahabat Ansor dalam memperjuangkan Islam,
serta juga menjadi penolong perjuangan NU. Kyai Wahab sendiri ketika itu memang
berdomisili di Surabaya, karena Kyai Wahab diambil menantu oleh KH. Musa dari
Kertopaten dekat Masjid Ampel, dan menetap di sana. Dari pernikahannya ini
lahir seorang anak bernama Wahib. Surabaya ketika itu menjadi kota yang sangat
dinamis karena menjadi tempat tinggalnya tokoh-tokoh besar seperti HOS.
Tjokroaminoto, Sutomo pendiri Budi Oetomo, serta menjadi tempat lahirnya
organisasi-organisasi besar.
Zaman kemudian berganti, ketika Jepang datang,
semua organisasi yang ada dibubarkan, termasuk NU dan ANO, meski kemudian pada
september 1943 Jepang mengizinkan NU dan Muhammadiyah aktif kembali. Sementara
ANO masih fakum hingga berakhirnya revolusi fisik pada 1949. Para anggota ANO
kemudian bergabung pada laskar Hisbulloh, sebagai laskar yang diusulkan KH.
Wahid Hasyim kepada Jepang, untuk mewadahi perjuangan kaum santri.
Adalah M Chusaini Tiway, tokoh ANO Surabaya yang
pertamakali melempar ide mengumpulkan kembali anggota ANO. Pada 14 Desember 1949 akhirnya keinginan
itu terealisir di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya. Acara yang
berlangsung semarak itu dihadiri oleh KH. Wachid Hasyim, menteri Agama RIS kala
itu. Dalam sambutannya Wahid Hasyim mengemukakan pentingnya membangun kembali
ANO karena dua hal: 1) untuk membentengi perjuangan umat Islam, 2) untuk
mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU. Membangkitkan ANO kemudian
disepakati, namun dengan nama baru;
Gerakan Pemuda Ansor.
M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang
yang harus dikaji ulang adalah peran ANSHOR dan NU untuk NKRI dan masyarakat bukan hanya melihat kejayaan waktu silam
ReplyDelete