Tadarus Sejarah Ansor #2
Bertemu dengan sesepuh Ansor adalah peristiwa istimewa bagiku, dari beliau-beliau itu aku selalu bertanya tentang Ansor di Jombang pada masanya. Aku terkadang tidak perduli kalau dibilang cerewet dan sok ingin tahu, kenyataannya beliau-beliau itu malah bercerita dengan suka ria.
Salah satu kesempatan yang datang adalah, ketika momen Safari Ramadhan yang diselenggarakan oleh PAC Ansor Jombang Kota, di Dusun Banjarkerep, Desa Banjardowo, Selasa, 14/6/2016. Waktu itu acara sudah dimulai, bacaan tahlil sebagai pembuka acara pun sudah rampung. Dari jalan depan Masjid Nurul Jannah, tempat penyelanggaraan safari, datang seorang lelaki berjenggot panjang yang sudah memutih, serta mengenakan setelan kemeja dan sarung biru. H. Masrur sebagai protokol acara spontan menyapanya, dalam keadaan tangan masih memegang mikrofon. “Hai Cak Sulkhan, wah ini pendekarnya NU ini” begitu sapanya dengan nada akrab.
Sepintas lalu H. Masrur mengenalkan bahwa Mbah Sulkhan, yang disapanya dengan panggilan Cak itu adalah senior yang menggeretnya ke Ansor. Saya suprais mendengarnya. Lalu setelah sambutan dari ta’mir dan Ketua PAC Ansor Jombang Kota, H. Masrur pun kemudian memberi waktu kepada beliau untuk juga memberikan sambutan. Dari materi yang disampaikannya, terdengar berbobot, “pasti ini bukan kader sembarangan,” pikirku.
Setelah acara seremonial usai, kami terlibat obrolan santai. Secara kebetulan Mbah Sulkhan duduk bersebelahan denganku. “Njenengan aktif di Ansor tahun berapa?” tanyaku. Beliau menjawab tahun 1986 masuk di Cabang. Titi mangsa ini kemudian diperkuat dengan pengakuan H. Masrur yang di ajak masuk ke kepengurusan cabang oleh Mbah Sulkhan pada tahun 1986. “Saya ini termasuk anak muda yang masih nyambung dengan orang tua-tua (kader Ansor generasi tua, Pen),” Terang H. Masrur. Sejenak kemudian H. Masur melanjutkan ceritanya, “Dulu Ketua Ansornya Pak Tajul Arifin, beliau ini Sekretarisnya, lha saya bagian ngetik surat, sekaligus yang mengantarkannya.” Mmm..., pantas omongannya lumayan berbobot, batinku, wong mantan sekretaris cabang.
“Dulu pada masa saya, Mojoagung terasa dekat,” Kata Mbah Sulkhan. Kenapa bisa demikian, karena ada teman dari Mojoagung yang mengajar di SMPN 4, yang kebetulan berada di kawasan Desa Banjardowo. Sehingga kalau ada apa-apa tinggal titip surat ke Mojoagung. Perlu diketahui bahwa Pak Tajul, Ketua Ansor Jombang terhitung sejak 1984, rumahnya di Mojoagung. Selain itu kalau dibutuhkan bertemu, naik sepedah ontel pun terasa ringan.
Masa kepengurusan Pak Tajul inilah disebut-sebut sebagai masa baru. Setelah saya tanya, kenapa? Jawabnya, karena masa ini adalah masa transisi ketika NU mencanangkan kembali ke khittah. Memang pada muktamar NU ke-27 tahun 1984, secara resmi NU kembali ke Khittah 1926, ditandai dengan keluarnya NU dari PPP. “Sebelum Pak Tajul juga ada kepengurusan Ansor, Ketuanya dijabat Pak Hafidz Maksum,” jelas Mbah Sulkhan.
Peristiwa kembalinya NU ke khittah ini ternyata membawa konsekwensi yang tidak ringan, karena memunculkan dua friksi di tubuh NU, termasuk Ansor di dalamnya. Ada yang pro terhadap khittah, dan ada yang tidak setuju khittah. Yang tidak setuju khittah tetap bertahan di PPP. Akibatnya, untuk menjadi pengurus Ansor pun harus melewati pemilihan yang sangat ketat, karena di dalam Ansor Jombang sendiri juga mancul dua friksi tersebut.
“Dulu untuk menjadi wakil ketua pun harus dipilih.”
“Maksudnya?, dipilih sebagaimana memilih ketua begitu?” tanyaku penasaran.
“Iya. Jadi yang duduk di kepengurusan harian, semuanya dipilih.”
“Dulu kalau kita punya jago yang gak lolos menjadi sekretaris, kita jagokan lagi menjadi wakil ketua, ha ha ha.” H. Masrur menambahkan.
Ooo..., jadi ini yang di maksud Mbah Sulkhan dalam sambutannya tadi, bahwa Ansor selalui mengiringi perkembangan negeri ini, termasuk perkembangan politik. Barangkali inilah takdir politik Ansor. Namun menurut beliau, walaupun kader-kader Ansor masa itu selalu berbeda cara pikir, karena berbeda orientasi politik, tapi mudah untuk ketemu dan menyatu kembali.
Saya sebenarnya masih ingin tanya lebih banyak lagi, tapi waktu kami terbatas, adzan magrib sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu, sedangkan Mbah Sulkhan belum sempat merokok, dari dalam masjid sepertinya muadzin sudah siap-siap qomat. Walhasil, lelaki yang juga pernah menjadi Komandan Banser pada masa Kepemimpinan Gus Fad, yang menjadi pentolan pasukan berani mati waktu di berangkatkan ke Jakarta ini, menyempat-nyempatkan merokok walau sak sedotan. Hemmm, Banser memang berani mati, tapi gak berani kalau rokoknya sampai mati. Hehe.
M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang
He he he .... mungkin kalau catatan waktu dan peristiwa yang terekam kurang pas, mohon dimaklumi karena hanya mengandalkan ingatan saja tanpa punya catatan
ReplyDeleteHe he he .... mungkin kalau catatan waktu dan peristiwa yang terekam kurang pas, mohon dimaklumi karena hanya mengandalkan ingatan saja tanpa punya catatan
ReplyDeleteCak Sulkhan memang okeee..
ReplyDelete