Pilgub Jatim dan Aneka Harlah
Walaupun Pilgub Jatim masih dua tahun lagi, tapi atmosfirnya sudah terasa beberapa waktu ini.Disadari atau tidak, warga Nahdliyin yang merupakan basis masa terkuat di Jatim sudah masuk pada pusaran Pilgub tersebut.
Hal ini karena kader-kader terbaik NU menjadi peserta kontestasi. Malah dari sekian nama yang santer dibicarakan, empat diantaranya adalah kader NU; Khofifah Indarparawansyah, Syaifulloh Yusuf, Halim Iskandar, dan Azwar Anas. Satu sisi ini positif karena peluang kader NU menjadi Gubernur di Jatim, besar, di lain sisi kalau tidak dikelola dengan baik, ini akan menimbulkan potensi konflik antar warga NU.
Seingat saya, yang menabuh genderang pertama adalah Halim dengan jargon holopis kuntul baris-nya. Semangat holopis sendiri sudah mulai didengungkan secara resmi dalam Rakernas PKB pada awal Februari 2016 lalu. Presiden RI, Jokowi hadir ketika itu. Holopis ini kemudian menjadi jargon resmi untuk mengusung Halim di Pilgub Jatim.
Situasi kemudian terus bergulir, pada bulan Maret, Muslimat NU mengadakan puncak Harlahnya di Malang. Aroma politik langsung menyengat, kenapa puncak Harlah Muslimat diadakan di Jatim? Jawabannya sederhana, karena Khofifah kemungkinan akan maju lagi di Pilgub Jatim. Dalam kesempatan ini Presiden RI, Jokowi juga hadir.
Saking membludaknya acara ini, sampai polisi memberikan peringatan kepada warga luar Malang agar tidak berkunjung ke Malang pada hari itu, karena diprediksikan seluruh akses menuju Malang akan macet. Acara ini juga dipermanis dengan pencatatan rekor Muri; perempuan menggunakan kerudung putih terbanyak, dan deklarasi laskar anti Narkoba Muslimat NU. Tidak ada deklarasi Khofifah maju Jatim 1 memang, tapi tanpa diberitahukan kita semua sudah mafhum.
Nah, sampai di sini kader NU yang di Ansor dan Banser belum terlibat jauh. Keterlibatan ansor dan Banser hanya sebatas sebagai undangan dan pengawal rombongan Muslimat menuju Malang. Eh, tiba-tiba, tidak ada hujan tidak ada angin, PAC Ansor Jombang Kota dalam acara rutin Rijalul Ansornya, pada 15 April mengangkat tema “Fiqih siasyah dusturiyah”, yang menghadirkan “kru holopis” setempat. Acara ini yang mencuat kemudian holopisnya, bukan fiqih siyasyahnya.
Polemik kemudian muncul secara dahsyat. PAC Ansor Jombang Kota digugat, tertutama oleh struktur di atasnya, dengan tuduhan mencederai muru’ah Ansor.
Setelah polemik dan gugat-menggugat tersebut reda, 15 hari kemudian, pada 30 April ada undangan Harlah NU ke 93 di Taman Wilwatikta Pasuruan, sekaligus “pernyataan dukungan terhadap lahirnya Pancasila pada 1 Juni”. Yang mengundang adalah (kalau tidak salah?) PW Ansor Jatim. Rombongan Banser dan Ansor, serta NU diberangkatkan dengan upacara yang patriotik di halaman Masjid Agung Jombang, lengkap dengan deklarasi pembubaran HTI. Karena nuansa ketika itu memang sedang kuat-kuatnya perlawanan pada gerakan HTI yang menolak Pancasila dan NKRI.
Sesampainya di lokasi, semua mata tercengang. Apa benar ini Harlah NU? Kenapa yang dijalan-jalan lebih banyak bendera PDI-P nya? Partisipan PDI-P juga sudah membanjiri arena. Ini Banser sudah kadung berseragam lengkap, Ansornya juga. Kita ini tamu di acara orang, atau peserta di acara NU sendiri? Tanda tanya mulai bermunculan.
Satu-satu mulai terjawab. Walaupun kemasannya adalah Harlah NU, tapi sebenarnya ini adalah “resepsi pernikahan” Gus Ipul dengan PDI-P menyongsong Pilgub Jatim. Acara ini dihadiri juga oleh KH. Said Aqil, Ketua PBNU, dan KH. Hasan Mutawakil Alallah, Ketua PWNU Jatim. Dan juga yang tidak boleh ketinggalan, dihadiri pula oleh Presiden RI (tapi) yang ke-5, Megawati Soekarno Putri. Tidak ada yang menggugat, selain hanya gremang-gremeng. Mau menggugat ke siapa? Siape looh.
Tepat 15 hari berikutnya, PC Fatayat Jombang kolaborasi PC Ansor Jombang mengadakan Harlah, masing-masing yang ke-66 dan ke-82. Sampai di sini nampak bahwa mengadakan Harlah sudah menjadi hobi (Hehehe.., maaf). Sebagaimana dua Harlah terdahulu, Harlah yang membuat GOR Jombang penuh ini juga dibumbui dengan kegiatan tambahan, yaitu pelantikan ranting Fatayat se-Jombang, dan Lounching Lembaga Bantuan Hukum Ansor Jombang. Heemm…, boleh juga.
Tapi jangan lupa, bahwa Gus Ipul juga di-HADIRKAN di sini. Apakah dalam kapasitasnya sebagai Wagub? Ya, setidaknya itu tercermin dalam sambutannya di awal-awal. Tapi berikutnya, kampanye juga.
Apa bedanya menghadirkan Holopis di Rijalul Ansor dan menghadirkan Gus Ipul di Harlah Ansor? Bedanya, menghadirkan Holopis di Rijalul Ansor mencederai muru’ah Ansor, sedangkan menghadirkan Gus Ipul menyenangkan karena membawa hiburan gambus dan penyanyi Charlie. Ndak-ndak, mendatangkan Holopis berarti bermain politik yang tidak cantik, karena tidak dapat apa-apa, sedangkan mendatangkan Gus Ipul bermain politik cantik, karena dapat penyanyi dan dapat kopi.
Sahabat, saya sendiri belum menentukan pilihan akan memilih siapa pada Pilgub Jatim 2018 kelak, Holopis kah? Gus Ipul kah? Atau calon yang lain kah. Tapi satu yang pasti, bahwa sebagai kader Nahdliyin, saya akan memilih kader Nahdliyin juga, meskipun mungkin nanti ada calon lain yang lebih baik. Selebihnya, dalam hal berpolitik, mari kita belajar berdewasa bersama, tanpa mengkerdilkan hak politik sesama.
M. Fathoni Mahsun
0 komentar:
Post a Comment