D. POLA
PIKIR ASWAJA
Nampaklah bahwa pola pikir yang
diisyaratkan oleh paham Ahlussunnah Waljamaah adalah taqdim al nas dan
rasional. Atau mengutamakan nas tetapi dalam memahami nas itu digunakanlah logika
filsafat yang rasional.
1. Taqdim
al-Nas
Pola pikir taqdim al-Nas (mendahulukan
petunjuk nas) ini terindikasikan oleh komitmen tegas Ahlussunnah Waljamaah
dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari aneka upaya liberalisasi
serta pemikiran bid’ah yang kian menggejala dan kompleks.
Purifikasi dimaksud tidak lain ialah
menjadikan al-Quran dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam setiap
aspek kehidupan. Yang dalam hal, ini mencakup aspek akidah, ibadah, dan aspek
akhlak. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya
pada periode awal kelahiran Islam.
Dengan pola pikir taqdim al-Nas ini, ajaran
Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup akidah,
terhindar dari, pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewa-dewakan kemampuan
akal. Dalam lingkup ibadah, terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi
ataupun mazhab. Dan dalam lingkup akhlak akan terhindar dari
pemikiran-pemikiran mistis non Islam.
Semua aspek kehidupan, praktis akan terpayungi
oleh kebenaran “mutlak”al-Quran dan al-Sunnah. Peran logika-filsafat yang
menjelma dalam pemikiran kalam, tetap ternaungi oleh kebenaran “mutlak”
al-Quran dan al-Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang interpretable,
tetap menjadi ikhtilaf-rahmat, Pemikiran-Pemikiran tasawuf pun tetap sejalan
dengan Nas. Pemikiran-pemikiran bid’ah seperti paham al ahlul dan wihdah
al-wujud (inkarnasi, reinkarnasi) jelas-jelas bukan ajaran Islam; praktis
akan tercounter dengan sendirinya.
2. Rasional
Taqdim al-Nas memang menjadi komitmen pola
pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, namun secara filosofis tidak berarti
menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan akal mendapat tempat
yang sangat terhormat dalam paham Ahlussunnah Waljamaah, sejalan dengan penghormatan
yang diberikan oleh semangat Nas itu sendiri.
Kata aqal (akal) itu sendiri dengan
berbagai bentuk, banyak didengung-dengungkan dalam al-Quran, termasuk juga di
dalam al-Sunnah.
Itu berarti, paham taqdim al-Nas otomatis
menempatkan rasio dalam tempat yang amat terhormat. Keterhormatannya itu
berarti pula memberi semangat kepada umat agar berpola pikir rasional.
Hanya saja, mengingat kemampuan akal sangat
terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak dan hasilnya
bervariasi antara akal yang satu dengan yang lain. maka secara logis pula; akal
bukanlah bandingan naql (Nas). Menjadi hal yang irrasional jika sampai
mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran naql. Sama
halnya dengan membandingkan antara kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan.
Oleh karena itu, pola pikir yang
dikembangkan dalam paham Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ia, menempatkan
rasio/akal pada tempatnya. Akal di tempatkan sebagai alat bantu untuk memahami
kandungan naql. Itupun terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan
akal. Sehingga penggunaan ta’wil (penafsiran ayat secara metafores/majazi),
dalam paham Ahlussunnah Waljamaah sangat terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat
(ayat yang maknanya mengandung perserupaan Tuhan dengan makhluk) dan ayat-ayat
tertentu lainnya, dengan pana’ wil yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).
Dengan pola pikir yang demikian, maka paham
Ahlussunnah Waljamaah justru senantiasa represetatif dalam setiap zaman,
sejalan dengan representatif ajaran Islam itu sendiri sampai kapan pun dan di
manapun, bahkan dalam keadaan yang bagaimana pun. Akan senantiasa aktual dan up
to date.
0 komentar:
Post a Comment