Pada Jumat malam, 14/7/2017 dilakukan silaturahmi ke Kyai-kyai dan senior Ansor yang belum ketemu pada silaturahmi pertama. Bu Nyai Hasib, Gus Heru, Gus Roqib, Gus Farid, dan Gus Aam
15/07/2017
01/07/2017
Silaturahmi ke Kyai-kyai dan Sesepuh Ansor Jombang
Keluarga besar PAC Ansor Jombang Kota melakukan silaturahmi ke Kyai-kyai dan sesepuh Ansor di kesempatan hari raya pada Jumat, 30/6/2017. Tidak disangka acara ini ternyata mendapat sambutan antusias dari para kader, padahal pemberitahuannya mendadak, karena sedianya rencana awal dilaksanakan pada 2/7/2017. Tercatat kader yang mengikuti kegiatan ini sekitar 35 orang.
Silaturahmi yang dilaksanakan mulai dari jam 09.00-22.00 ini mengunjungi 13 titik, yaitu H. Sa’dulloh, Mbah Ali, Gus Mukhlis, KH. Wazir Ali, KH. Khafidz Ma’sum, H. Munaji, H. Irfan, Gus Harun Basori, KH. Jamaluddin Ahmad, KH. Hasan Hasibuan, Kyai Asyharun Nur, H. Faruq, dan H. Antok.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari silaturahmi ini, terutama tentang bagaimana perkembangan pribadi-pribadi yang pernah dikader di Ansor, serta nilai-nilai ke-Aswajaan yang musti terus dipegang dan diperjuangkan.
Pada kunjungan ke H. Sa’dulloh yang merupakan mantan bendahara PC Ansor Jombang dan bendahara PCNU Jombang, mendapat wawasan bagaimana menjalankan organisasi PCNU yang tadinya Rp. 0 saldo, hingga memiliki saldo Rp. 500.000.000 lebih di akhir masa jabatannya. Sedangkan di Mbah Ali kita disuguhkan bagaimana mantan pentolan Banser yang sekaligus sesepuh pendekar Pagar Nusa yang sangar tapi juga pandai berkelakar.
Sementara itu pada kunjungan ke Gus Mukhlis kita mendapat pelajaran bagaimana seorang kader Ansor bersikap serta menjaga marwah organisasi. Selain itu beliau menekankan pula pentingnya menjaga nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah. Di Gus Mukhlis ini pula terungkap sejarah PAC Ansor Jombang Kota, karena beliau adalah mantan ketua. Sementara itu, di KH. Wazir Ali mendapat silsilah hubungan Ponpes Denanyar dengan Ponpes di Solo, baik hubungan keilmuan dan juga hubungan perbesanan.
Sejarah Ansor Jombang masa lalu juga diungkap oleh KH. Hafidz Ma’sum, mulai paska peristiwa PKI ’65 hingga sekitar tahun 1980-an. Kyai hafidz menceritakan bagaimana pergulatan Ansor yang dipegang oleh Pak Muhammad Baidhowi hingga tahun 1977, serta ketika dipegang oleh Kyai Sokhib Tapen sampai awal 1980-an. Tahun-tahun ini menurut beliau merupakan periode krusial, karena selain periode itu belum banyak pemuda yang mau terlibat di Ansor, juga karena pada masa itu adalah masa transisi NU melakukan khittah dengan tidak terlibat secara langsung dalam politik praktis.
Keterangan tentang Ansor masa lalu masih ditambah lagi dari informasi H. Munaji dan Gus Harun Bashori, dimana Gus Harun merupakan mantan ketua PAC Ansor dua periode setelah Gus Mukhlis. Gus Harun mengatakan bahwa pada masa itu untuk menjadi ketua PAC Ansor nyaris tanpa konflik, dengan kata lain tidak ada perebutan, malah sebaliknya sama-sama tidak mau ditunjuk. Hal serupa juga terjadi pada pemilihan ketua PAC Ansor Jombang Kota pada akhir 2015 tempo hari.
Yang tidak kalah penting ketika berkunjung ke KH. Jamaluddin Ahmad. Tersuguh pemendangan betapa bahwa orang harus mengantri demi untuk bisa mendapatkan berkah beliau. Padahal ketika sudah mendapat antrian, dan dipersilahkan masuk, Cuma salaman, duduk rapi dan berjubal di ruang tamu, do’a, lalu makan minum, dan terus pulang, tanpa bisa bercakap-cakap panjang-lebar.
Sedangkan KH. Hasan bercerita tentang guru-gurunya yaitu KH. Ahmad Sidiq dan KH. As’ad Syamsul Arifin Situbondo. Bertiga dengan KH. Hamid Pasuruan, mereka mempunyai kesamaan yaitu mengambil jalan sufi, terutama di akhir masa hidupnya. KH. Hamid sebagaimana jama’ diketahui adalah seorang wali. KH. As’ad, rupanya mencapai derajat kewalian ketika sudah mulai sepuh. Diceritakan oleh KH. Hasan, KH. As’ad tidak pernah sholat jum’at. Di awal-awal mempunyai laku yang aneh ini, adiknya sempat akan protes. Setelah jum’at dimana tidak didapatinya kakaknya pergi ke masjid, si adik langsung mendatangi rumah kakanya, KH. As’ad, tau-tau ketika sudah di dalam ternyata dihidangkan kurma basah yang masih lengkap dengan tangkainya (dompolan). Langsung si adik tidak jadi protes.
Sedangkan KH. Ahmad Sidiq rutin mengaji kitab ihya’ ulumuddin yang diselingi dengan kitab tanbihul ghofilin setiap senin malam pasca jam 21.00, atau setelah acara Dunia dalam Berita, merupakan acara televisi yang sangat ngetrend ketika itu. Jalan sufi atau suluk ini juga dilakukan oleh Gus Harun Basori yang telah baiat toriqoh Qodiriyah wa Nakhsabandiyah di Suryalaya Tasikmalaya, atau tempat Abah Anom.
Selain itu, KH. Hasan juga bercerita tentang gurunya waktu di Tambakberas, yaitu KH. Wahib Wahab. Pernah suatu ketika KH. Wahib membuat surat ke kyai-kyai yang isinya tentang seruan memisahkan kepengurusan NU dan PPP. Surat ini yang disuruh mengetik adalah KH. Hasan, setelah diketik dan digandakan, lalu surat-surat tersebut dimasukkan amplop beserta dengan alamatnya. Anehnya, KH. Wahib ternyata hafal di luar kepala alamat Kyai-kyai sampai pada nomor rumahnya. Diceritakan KH. Wahib juga mempunyai cincin jaljalut, serta lembu sekilan sebagai sedikit dari pertanda dari kesaktian beliau.
Pembahasan tentang sejarah Ansor kembali lagi diungkap manakala berkunjung ke H. Faruq, yang merupakan kader Ansor sezaman dengan H. Tajul Arifin Mojoagung, H. Muslik Jagalan, KH. Fadlulloh Malik, H. Sa’dulloh, dan H. Imron Rosyadi. Sebelum di Ansor, H. Faruq pernah menjadi mayoret drumband yang berpengalaman menyambut kedatangan Jendral Nasution di Jombang pasca kejadian tahun 1965. Beliau yang merupakan pengusaha sukses dan mempunyai 10 toko di jalan protokol di Jombang ini, bercerita panjang lebar tentang dinamika persaingan usaha yang dewasa ini banyak dikuasai kalangan non pribumi. Beliau juga menghimbau agar memperhatikan tokoh-tokoh dan keluarganya yang telah memperjuangkan NU di masa lalu, seperti istri Kyai Sokhib Tapen, dan Bang Amat Jogoroto. (ony)