RTL PKD ke 4 di isi dengan bedah PD PRT dan PO tentang administrasi, serta penyerahan sertifikat PKD, dan ditutup dengan makan bersama. Acara ini diselenggarakan pada Jumat malam, 7 April 2017
25/04/2017
Buka stand pameran pada Event Konfercab PCNU Jombang
Pada tanggal 21-23 April 2017 PAC Ansor Jombang Kota membuka stand pameran untuk memeriahkan acara konfercab PCNU Jombang. Awalnya hanya akan berjualan VCD Duta Sholawat, namun berkembang pada produk jamur, teh daun kelor, kopi celup, kopi giras, atribut Banser dan Ansor, Buku, minyak goreng, air mineral, sampai akhirnya diputuskan untuk juga buka warung kopi.
KH Aziz Masyhuri Denanyar: Sikap, Kitab, dan Etos Menulisnya
Beberapa kali mengikuti pengajian Kiai Aziz Masyhuri semakin mempunyai perkiraan bagaimana sikap kiai-kiai pendiri NU. Hal ini masuk akal karena Kiai Aziz Masyhuri lama mendampingi Kiai Bisri Syansuri, salah satu dari trio pendiri NU yang meninggal paling belakangan di usia 93 tahun. Kiai Aziz Masyhuri adalah cucu mantu dari Kiai Bisri Syansuri.
Suatu saat Kiai Aziz pernah bercerita tentang Kiai Bisri yang memberhentikan salah satu pengurus PBNU, padahal pengurus tersebut memiliki nama besar, karena telah melakukan hal yang cukup segnifikan dalam perjalan bangsa Indonesia. Alasan pemberhentian pengurus tersebut karena bersangkutan dengan moral. Ketika ditanya oleh kiai-kiai lain, jawab Kiai Bisri “Kalau sampeyan saya kasih tahu alasannya, apa bisa menyelesaikan?”
Sikap tegas demikian ternyata juga menular ke Kiai Aziz. Suatu ketika Kiai Aziz diundang ke acara akad nikah di Tambakberas. Setelah mewakilkan, wali mempelai wanita lalu disuruh keluar. Nah setelah proses akad selesai, Kiai Aziz memberi penjelasan pada seluruh yang hadir, termasuk ada beberapa kiai, bahwa wali setelah mewakilkan tidak harus keluar ruangan. Ini sesuai dengan hasil Muktamar NU. Dasarnya adalah kitab Sarqowi yang merupakan syarah kitab Tahrir jilid 2, kalau dalam Kifayatul Akhyar memang disuruh keluar. Selain itu juga pertimbangan kemanusiaan, alangkah bahagiannya jika orang tua bisa menyaksikan secara langsung akad nikah anak yang telah dibesarkannya. Keterangan ini kemudian bisa diterima oleh kiai-kiai yang datang.
Kiai Aziz juga pernah merasa resah dengan buku berjudul “Kiai NU Menggugat Sholat Para Kiai”. Terutama karena yang memberikan pengantar di buku tersebut tertera identitas yang tertulis adalah mantan staf MTs NU Mambaul Ma’arif Jombang. Buku tersebut berisi tentang gugatan terhadap buku pashalatan yang ditulis KH Asnawi Kudus. “Wong waktu kecil saya belajarnya itu juga, ” ungkapnya. Beliau berkeinginan untuk memanggil pemberi pengantar buku tersebut yang mengaku alumni Denanyar. “Denanyar itu siapa? Mbah Bisri kan? Berarti nama Mbah Bisri kebawa-bawa, ” protesnya.
Yang paling menonjol adalah perhatiannya pada bidang aqidah. Dua kitab yang saya kaji pada beliau adalah tentang aqidah, yaitu Kawakibul Lama’ah dan Butlaan Aqaid Syiah. Menurut Gus Muis, putra beliau, akhir-akhir hidup beliau yang sering dibicarakan adalah kitab karangan Kiai Faqih Maskumambang berjudul An-Nushushul Islamiyah fi Raddi ‘ala Madzhabil Wahhabiyah, kitab yang ditulis oleh Kiai Nusantara yang membahas tentang Wahabi. Lagi-lagi ini pembahasan tentang aqidah. Kitab ini kemudian diterjemahkan oleh Kiai Aziz, dengan terlebih dahulu konfirmasi ke keluarga Kiai Maskumambang.
Awalnya ragu-ragu ketika ke sana karena tidak ada yang kenal, tapi tidak disangka ketika berada di kompleks pondok keluarga Kiai Maskumambang, begitu turun dari mobil, langsung disambut seseorang yang mengaku murid Kiai Aziz waktu di Tebuireng. Orang tersebut adalah menantu dari pengasuh Pesantren Maskumambang, KH Nadjih Ahjad. Dalam keksempatan tersebut Kiai Aziz juga menyempatkan untuk berziarah ke makam Kiai Faqih Maskumambang, yang tak lain adalah mantan wakil Rais Akbar NU, KH. Hasyim Asy’ari. Hampir-hampir makam Kiai besar ini tidak bisa ditemukan manakala tidak ada orang yang membantu menunjukkan, karena makam tersebut sudah terkepung oleh ilalang. Terjemahan kitab yang selesai ditulis Kiai Faqih pada 1922 itu akhirnya terbit dengan judul “Menolak Wahabi”.
Perhatian Kiai Aziz pada aqidah apakah hanya akhir-akhir ini saja? Ternyata tidak. Hal ini berdasarkan kesaksian Pak Halim Iskandar, ketua DPRD Jawa Timur, waktu memberikan sambutan atas nama keluarga pada waktu pengajian malam ke 6. Menurutnya, Kiai Aziz ini adalah gurunya waktu di aliyah mulai kelas 1-3. Ketika itu beliau sudah mengajarkan tentang dasar-dasar tahlilan, sholawatan, tawasul, dan amalan NU lainnya.
Dalam memahami Wahabi, Kiai Aziz sampai melacak keberadaan orang-orang yang sezaman dengan Muhammad bin Adul Wahab, pendiri Wahabi. Didapatkan ternyata guru, bapak, serta kakaknya yang bernama Syekh Sulaiman menolak pendapat Muhammad bin Abdul Wahab tersebut. Hal ini bisa dilihat dalam kitab Asshawaiqu Mukhriqah, kitab ini mendapat counter melalui kitab berjudul Asshawaiqu Mursalah.
Muhammad bin Abdul Wahab menisbatkan diri sebagai pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, padahal Imam Hanbal menentang keras pendapat Ibnu Taymiyah yang sering dijadikan rujukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Imam Hanbal ini pernah dipenjara oleh Khalifah yang dijabat oleh Al-Ma’mun. Al-Ma’mun yang merupakan pengikut mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah mahkluk. Imam Hanbal tidak setuju. Apabila ingin mengetahui lebih lanjut tentang 10 kesalahan Wahabi bisa diikuti pada kitab al-Fajru As-shodiq.
Padahal ayah Al-Ma’mun, Khalifah Harun Ar-Rasyid merupakan penganut Sunni. Walhasil khalifah periode setelah Al-Ma’mun seperti Mu’tasim dan Watsiq juga menjadi penganut mu’tazilah. Tetapi untungnya khalifah berikutnya, yaitu Mutawakil, bermazhab Sunni. Sehingga pada masa pemerintahan Mutawakil inilah kemudian Imam Ahmad bin Hanbal dibebaskan dari penjara.
Keterangan demikian disampaikanoleh Kiai Aziz di sela-sela pengajian Kawakibul Lama’ah. Memang dalam urusan kepustakaan kitab-kitab kuning, Kiai Aziz ini jagonya. Tidak hanya sebagai pembaca yang baik, Kiai Aziz juga merupakan penulis yang baik. Produktivitasnya menulis sudah dimulai sejak muda. Yang saya tahu, sekitar 3 tahun sebelum wafat, beliau melakukan aktivitas menysusun buku di selasar rumahnya. Ketika kami-kami tiba untuk mengaji, terkadang Kiai Aziz sudah melakukan aktivitas menyusun kitab. Nanti ketika aktivitas mengaji sudah usai, sekitar 2-3 jam berikutnya, Kiai Aziz melanjutkan lagi aktivitasnya menyusun buku.
Etos Kiai Aziz yang konsisten demikian, juga berkembang dengan usaha mengumpulkan kitab-kitab yang disusun oleh ulama-ulama Nusantara, salah satunya yang beliau lakukan pada kitab karangan Kiai Faqih Maskumambang sebagaimana disampaikan di atas, juga tentunya kitab-kitab Kiai Fadhol yang merupakan pamannya sendiri. Tidak cukup berhenti di situ. Kiai Aziz juga sejak beberapa tahun lalu merekomendasikan pada Kemenag agar mau menerbitkan kitab-kitab ulama Nusantara. Beberapa kitab ulama Nusantara ini sudah diterbitkan oleh Kemenag.
Kodifikasi kitab-kitab Kiai Hasyim Asy’ari dalam sebuah judul bernama Irsyadu Syari, juga tidak lepas dari campur tangan beliau. Beberapa kitab Kiai Hasyim yang ada di Irsyadus Syari adalah hasil jasa penelusuran Kiai Aziz, yang kemudian diserahkan pada Gus Ishom, cucu Kiai Hasyim, yang selanjutnya menyusunnya menjadi satu.
Saya tidak menyangka sama sekali ketika pada Haul Kiai Bisri Syansuri, 28 Maret 2017 adalah terakhir kalinya saya bisa mencium tangan beliau. Tidak ada firasat apa-apa ketika itu, beliau hanya tersenyum ketika melihat saya, senyum yang sampai saat ini tidak saya lupakan. Beliau bukan hanya tempat mengaji kitab, tapi juga bagaimana bersikap. Tidak peduli seberapa keras perjuangan mempertahankan sikap tersebut.
Contoh nyata adalah mukmatar NU ke-33 di Jombang. Setahun sebelum muktamar, Kiai Aziz termasuk salah seorang yang diundang ke Jakarta untuk membicarakan muktamar. Mengetahui bahwa muktamar akan diselenggarakan di Jombang, beliau menyarankan untuk diadakan di tempat lain saja. Ketika itu yang sudah siap menjadi tuan rumah adalah Medan. Alasan yang beliau kemukakan adalah bahwa Jombang itu sudah NU, maka nilai syiarnya tidak ada. Akan berbeda dampaknya kalau diadakan di daerah yang ke-NU-annya belum kuat.
Alasan kedua, tarik-menarik kepentingan yang biasa terjadi pada proses suksesi organisasi, ditakutkan akan menimbulkan kegaduhan yang tidak pantas dipertontonkan di hadapan para pendiri NU sendiri. Mengingat Jombang adalah tanah pendiri NU. Benar saja, kegaduhan sebagaimana yang diresahkan Kiai Aziz terjadi. Kiai Aziz yang tidak pernah absen setiap kali momen muktamar, kali ini absen, padahal di kotanya sendiri. Semua orang mencari, termasuk Martin Van Bruinessen, peneliti keislaman di daerah Kurdi dan Asia Tenggara, asal Belanda. Martin sudah lama bersahabat dengan Kiai Aziz, karena dia juga tidak pernah absen setiap momen muktamar NU digelar. Buku-buku Kiai Aziz juga banyak yang dijadikan Martin sebagai bahan utama penelitiannya. Martin akhirnya menemui Kiai Aziz di rumahnya.
M. Fathoni Mahsun, kader Gerakan Pemuda Ansor Jombang
24/04/2017
Dua Kiai Aziz Dari Jombang
Pada sekitar pukul 14.00 WIB, Sabtu 15 April 2017, KH Aziz Masyhuri Denanyar wafat. Berita ini tentu mengejutkan karena pada paginya beliau masih membaca koran dan melanjutkan menulis buku sebagaimana yang dilakukannya selama ini. Dengan demikian berarti dua kiai besar bernama Aziz dari Jombang telah tiada, satunya lagi yaitu KH Aziz Mansyur Paculgowang sudah wafat pada 2015 lalu.
Saya, walaupun tidak lama, pernah mengaji ke beliau berdua. Kiai Aziz Mansyur adalah sosok kiai yang mempunyai etos ilmiah ala Lirboyo, yang tidak lain adalah pondok kakeknya sendiri, karena beliau juga lama mondok di Lirboyo. Gaya ngaji beliau; duduk bersila di depan meja kecil, dilengkapi dengan lampu belajar, serta bersandar di bantal. Diatas meja kecil itu, selain ada kitab dan lampu belajar, juga ada segelas air putih.
Ketika saya mengaji romadhon pada 2014, saya begitu takjub dengan kedisiplinan Kiai yang menjabat dewan syuro PKB ini. Kalau sudah duduk didepan kitab, maka sekitar 2 jam sampai 2, 5 jam ke depan, tidak beranjak dari tempat duduknya, membaca kitab tanpa berhenti, dan tanpa basa-basi. Ketika membaca kitab semacam ini posisi beliau menghadap ke arah kiblat, bertempat di selasar masjid. sementara kami yang mengaji juga menghadap kiblat, berada di belakang beliau. Nah, ini tentunya menguntungkan bagi saya, karena kalau ngantuk tidak akan ketahuan, hehehe.
Kitab yang dikaji ba’da taraweh ketika itu adalah al-Asybah wa An-nadhair, dan Dalailul Khoirot. Belum lagi yang dibaca pada waktu pagi dan sore. Dengan etos yang demikian itu, maka wajar kalau dalam kesempatan romadhon yang biasanya tidak sampai tanggal 20 sudah selesai, berhasil menghatamkan beberapa kitab. Sehingga bisa dimaklumi jika santri alumni pondok salaf, semacam Paculgowang dan Lirboyo mempunyai perbendaharaan kitab kuning yang relatif banyak.
Lalu bagaimana gaya Kiai Aziz Masyhuri mengaji? Tempat belia mengaji tidak di masjid, namun di ruang tamu. Beliau duduk di salah satu kursi, kemudian yang mengaji duduk dikursi-kursi yang lain, ada dua set kursi tamu di ruang tersebut. Sebagaimana layaknya menerima tamu, di meja tersaji aneka hidangan, ada makanan kering yang berada di toples-toples dan ada makanan basah, seperti pisang goreng, roti bakar, atau yang lainnya.
Jadwal mengaji satu minggu sekali, saya perhatikan hidangan di atas meja tersebut selalu berganti. Terasa benar bahwa memang itu disiapkan secara khusus untuk orang-orang yang mengaji pada beliau. Tidak berhenti sampai disitu, setiap ada yang datang, tidak lama kemudian ada yang menghidangkan kopi. Di tengah-tengah pengajian biasanya disusul dengan kolak, lalu diakhir ditutup dengan nasi goreng atau tahu petis. Jadi saya katakan pada Anda, bahwa tips mengaji pada Kiai Aziz Masyhuri haruslah dalam kondisi perut kosong, kalau tidak mau keringat dingin, karena harus menghabiskan makanan yang sedemikian banyak.
Nah, begitu kita datang ternyata tidak langsung mengaji kitab, tetapi masih mengobrol kesana-kemari antara setengah sampai satu jam. Bahan obrolan biasanya tentang permasalahan aktual, tentang ke-NU-an, tentang kegiatan-kegiatan beliau, atau seputar penulisan kitab yang sedang beliau kerjakan.
Jujur, awal-awal saya merasa gelisah dengan ritme mengaji seperti ini, karena tidak langsung to the poin. Tapi lama-kelamaan merasakan hal yang berbeda. Apa yang beliau obrolkan tersebut biasanya adalah pandangan atau sikap beliau sebagai seorang kiai menghadapi permasalahan yang sedang terjadi. Jadi ini adalah pengajian aktual, tidak melulu mengaji kitab, tapi juga mengaji kehidupan. Apalagi ketika membaca kitab juga selalu disisipi dengan penjelasan-penjelasan.
Yang dikaji ketika itu adalah kitab Kawakibul Lama’ah karangan Kiai Fadhol Senori Tuban, yang tak lain adalah pamannya sendiri. Mungkin Kiai Aziz Masyhuri produktif mengarang kitab karena terinspirasi oleh Kiai Fadhol ini. Kitab lain karya Kiai Fadhol diantaranya adalah ahlal musyamarah yang menceritakan tentang 10 wali di tanah Jawa. Di tangan Kiai Aziz Masyhuri, keterangan kawakibul lama’ah menjadi sangat luas.
Keterangan tentang apa yang tertulis di kawakibul lama’ah sepertinya sudah nempel banget di lidah beliau. Keterangannya bisa sangat detail. Misalkan saja, ketika masuk pada pembahasan devinisi sunnah dan jama’ah, dalam kitab tersebut menyitir devinisi dari kamus Muhith. Oleh beliau dijelaskan kamus mukhit ini merupakan kamus 4 jilid yang patokannya adalah huruf terakhir dari suatu kata. Misal kata ‘wasala’ yang terdiri dari huruf wawu, sin, dan lam, maka cara mencarinya dari huruf lam.
Keterangan ini kemudian melebar pada jenis-jenis kamus. Dimulai dari Tajul Arus yang merupakan sarah kamus mukhit. Lalu ada juga Misbahul Munir yang menurut beliau merupakan kamus yang paling ‘marem’, karena kalau ada masalah fiqh keterangannya dipanjangkan. Ada juga kamus munjit. Ini adalah kamus yang paling gampang, karena kalau ada yang tidak jelas dikasih gambar. Kelebihan yang lain dari kamus ini ada Faraidul Adab-nya. Namun yang mengarang orang kristen.
Keterangan kamus munjit ini menjadi semakin hidup manakala ditambahi dengan kisah Mbah Kiai Maksum Lasem dan putranya Mbah Kiai Ali Maksum. Mbah Kiai Maksum mengharamkan kamus munjit. Ketika Mbah Kiai Ali Maksum masih dipondok, waktu mau dijenguk ayahnya, santri-santri senior yang punya kamus munjit suruh menyembunyikan. Takut kalau-kalau Mbah Kiai Maksum memeriksa kamar-kamar. Nah, nanti kalau sudah pulang boleh dikeluarkan lagi.
Kitab berikutnya yang dikaji setelah kawakibul lama’ahkhatam adalah kitab tipis berjudul, butlani aqoidul syiah, sebuah kitab yang sepertinya belum ada di penerbitah Indonesia. Karena kami mengkajinya pun dari foto copy-an kitab yang beliau punya. Demikianlah Kiai Aziz Masyhuri, perbendaharaan kitab-kitab langkanya melimpah. Sehingga wajar kalau beliau menjadi rujukan kiai-kiai yang lain, termasuk dari pondok-pondok besar. Namun taqdir kami tidak bisa mempelajari kitab ini sampai selesai, karena setelah libur hari raya, pengajian kitab tersebut belum dilanjutkan lagi sampai beliau wafat.
Beliau memang pernah cerita, bahwa jika sedang haji, yang beliau buru adalah kitab-kitab terbitan timur tengah. Saking banyaknya yang beliau beli, sampai-sampai sebagiannya harus dititipkan ke orang lain yang jatah bagasinya masih ada. Maka wajar, kalau wacana kitab kuningnya di atas rata-rata. Sampai-sampai ketika Dr. Musthofa Ya’qub, imam besar Masjid Istiqlal Jakarta, yang juga karibnya waktu di Tebuireng membuat tulisan di Republika, tentang banyaknya kesamaan ajaran-ajaran NU melalui kitab karangan KH Hayim Asyari yang terkodifikasi dalam Irsyadus Syari, dengan ajaran-ajaran Wahabi, maka Kiai Aziz Masyhuri menegurnya, ketika bertemu di sebuah acara di madura. Hal ini karena Kiai Aziz Masyhuri mempunyai refrensi lain yang menguatkan tentang perbedaan besar antara ajaran NU dan wahabi.
Dengan kekayaan wacana kitab kuning demikian ini, ternyata Kiai Aziz Masyhuri mentransformasikan apa yang dipunyainya itu dengan cara yang santai; mengajar ngaji disambi dengan makan-makan dan ngobrol kesana-kemari. Perut terisi, kepala pun terisi.
Sedangkan Kiai Aziz Mansyur yang mempunyai tradisi dan etos kitab kuning yang disiplin, ternyata pembawaannya tidak dikit-dikit nge-dalil. Saya teringat ketika resepsi pernikahan saya, dalam tausyiahnya beliau malah hanya bercerita, tidak mendalil, tentang bagaimana galaunya ketika beliau dipasrahi untuk meneruskan estafet kepemimpinan pondok pesantren Tarbiyatun Nasihin, selepas ayahnya meninggal. Juga bercerita tentang awal-awal diundang mengaji ke kampung-kampung dengan mengendarai sepeda ontel, lalu beralih naik sepeda motor, lalu beralih memohon kapeda Allah agar diberi kendaraan yang ada iyup-iyupane (ada atapnya: mobil). Selanjutnya tausyiah beliau malah ditutup dengan penjelasan filosofi janur dan lain-lain, yang biasa digunakan di resepsi pernikahan adat Jawa. Allahummaghfirlahuma...
M. Fathoni Mahsun, Kader Gerakan Pemuda Ansor Jombang
16/04/2017
Rintisan kolam lele
Kolam pertama ini didirikan pada Ahad 16 April 2017, Patungan 12 orang. Program lele ini sebagai salah satu RTL PKD dan merupakan program embrio yg rencana akan diduplikasi suatu saat kelak
Diklatsar Banser 2017
1. Kepuhndoko Tembelang, 24-26 Februari 2017
2. Pendaftar Dr PAC Ansor Jombang Kota 32 orang, lulus 26 orang
Sepeda Santai Pra Konfercab PCNU Jombang
Mengikuti kegiatan sepeda santai di Tebuireng, dalam rangka pra Konfercab PCNU Jombang, Ahad 16 April 2017
11/04/2017
Ini Pengalamanku (ikut Istighosah Kubro) Mana Pengalamanmu?
Saya baru nyadar kalau tempat parkir zona III jaraknya masih 2 Km ke lokasi GOR Deltras Sidoarjo. Letaknya berada di Perum Puri Indah, yang merupakan parkiran paling ujung. Dalam perjalan menuju GOR tersebut, karuan saja gerundelan muncul tanpa kendali. Kami, walaupun pemuda Ansor, tapi tidak akrab dengan olah raga, maka pantas saja kalau lemak mulai menggumpal disana-sini. Kalau ngopi..., jangan tanya, sampai larut malam pun kami jabanin.
Meski demikian kami terus ikut arus, mau berhenti? Malu dong dengan jama’ah yang lain, ada, yang sudah kakek-kakek, nenek-nenek, ibu-ibu yang gendong anak, masak iya kami harus berhenti untuk istirahat? Tapi untungnya sudah hampir jam 4 pagi, sudah menjelang waktu sholat subuh, kami satu rombongan akhirnya kompak untuk cari mushola atau masjid terdekat, ya itung-itung sambil istirahat barang semenit-dua menit.
Setelah sholat subuh usai, perjalanan pun dilanjutkan, kami terus menyusuri jalan raya yang sudah penuh sesak dengan jamaah, dan kendaraan yang berlalu-lalang. “Kalau tidak perintah Kyai kita gak mau capek-capek begini,” gerutu ku pada teman yang lain. Teman-teman juga memberi tanggapan, walhasil sambil berjalan kami mempunyai obrolan, bertema “Kyai”. Ndilalah, tak lama kemudian, dari arah belakang, ada rombongan Kyai Asrofil, Ketua Tanfidziyah PCNU Jombang, lengkap dengan Sekretaris, Bendahara, dan perwakilan Syuriyah, perlahan tapi pasti rombongan para Kyai ini menyalip kami.
Karuan saja ini menyinggung perasaan, rombongan kyai yang mayoritas sudah sepuh ini berjalan lebih tangkas dari kami yang masih muda-muda, bahkan hampir tak terkejar. Tidak ada tanda-tanda mengeluh, apalagi mencari-cari alasan untuk istirahat. Maka dengan tekad baja, kami menempel terus dibelakang beliau-beliau ini. Walhasil, kami pun akhirnya sampai lokasi GOR Deltras Sidoarjo, ketika kondisi masih relatif sepi. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak langsung masuk, tapi makan dulu dan belanja.., Jiiaah kayak ibu-ibu ya. Itu tuh, cari barang yang tidak selalu ada di toko-toko, yaitu jaket Banser.
Tak taunya, begitu selesai ternyata kondisi GOR sudah berubah sama sekali, pintu utama yang tadinya dibuka kini ditutup oleh puluhan Banser, pintu sebelah kiri yang tadinya arus massa bebas masuk, kini sudah ada muntahan massa yang dialihkan ke pintu sebelah kanan, namun begitu di depan pintu sebelah kanan pintu juga sudah ditutup..., masya Allah padahal hanya selisih beberapa menit saja, kita sudah tidak bisa masuk. Rombongan terakhir yang kami lihat berhasil melesat masuk ke GOR adalah yang membawa bendera Lirboyo.
Tapi percayalah.., bahwa di luar juga tidak kalah heboh, saya dan teman-teman yang berada persis di depan pintu utama GOR menyaksikan bagiamana massa terus berdatangan, masing-masing seperti saya, pingin masuk ke GOR tapi terhenti, yang akhirnya semakin lama-samakin menumpuk di depan GOR, hingga akhirnya halaman depan GOR itu penuh sesak, sampai-sampai penjual asongan yang tadinya leluasa mondar-mandir, kini tidak bisa lagi, padahal hanya selisih beberapa menit saja.
Kami berada di tengah-tenggah lautan manusia dari latar belakang berbeda-beda, ada para ustadz, santri-santri pesantren, anggota IPNU-IPPNU, ratusan Banser, dan ibu-ibu. Saya juga menyaksikan ada Banser cilik berpakaian lengkap, termasuk juga sepatu laras, dia digandeng entah ayahnya entah Pak De nya yang juga berseragam Banser. Dari sekian yang hadir, ternyata bukan dari kalangan santri saja, tapi juga ada mantan preman. Dari mana saya tahu?, sepintas sebelumnya ada bapak-bapak yang mencoba baju koko yang akan di belinya dari salah satu pedagang di pinggir jalan, ternyata ketika dia melepas bajunya untuk mencoba baju baru, nampak tato di lengan kanannya.
Saya sempat menanyai nenek-nenk berbaju putih yang ada disebelah saya, nenek-nenek ini membawa properti lengkap, mulai alas, payung, serta yang tidak boleh ketinggalan adalah aneka makanan yang ditaruh di tasnya. “Dari mana, Bu?” tanya ku. Dia menjawab dari Tulangan. “Naik apa ke sini?.” “Rombongan naik Lin,” jawabnya singkat seperti sms gadis remaja yang jutek dengan pacarnya. Sampai radius 50 meter samping kanan saya adalah ibu-ibu yang kurang lebih berusia sama seperti dia. Sedangkan tiga depa di sebelah kiri ada gadis cantik, tapi apalah daya, posisinya terlalu jauh untuk kondisi massa yang terlalu padat. Jadinya nasib saya hanya mewawancarai nenek-nenek asal Tulangan itu.
Sementara itu, proses rangkaian acara berjalan terus, sesuai jadwal acara sudah dimulai pukul 05.30, ketika suasana masih redup dan lampu GOR belum dimatikan. Suasana istighosah berlangsung khusu’, saya lihat nenek-nenek disamping ku juga segera ikut tenggelam dalam kekhusu’an itu, tangannya mulai memutar tasbih, sebagaimana semua orang dengan teks istighosah yang sudah di tangan masing-masing. Aku? Aku pun tenggelam, sampai-sampai tak tahu kalau teks istighosah yang ku taruh di depan ku lenyap entah kemana (ini entah khusu’ entah ngantuk). Aku doakan siapa pun yang mengambilnya akan dapat pahala, karna niatnya pasti untuk kebaikan, berdzikir.
Ketika matahari mulai naik acara masih berlangsung. Ibu-ibu sudah banyak yang memekarkan payungnya. Ini tanda jam’ah yang berpengalaman, atau katakanlah jama’ah yang cerdik. Sedangkan aku, boro-boro payung, baju aja hanya yang nempel di badan. Yang lain ada yang menggunakan surban, bendera, atau sajadah untuk melindungi diri dari terik matahari. Namun saat itu pun tiba, nenek-nenek disampingku buru-buru bergegas karena mengira doa sudah selesai, padahal masih ada serangkaian doa yang dilantukan oleh para kyai secara bergantian, tapi aku jadi beruntung karena dapat koran bekas alas yang ditinggalnya. Aku tidak menyia-nyiakannya, aku pungut untuk kujadikan penutup kepala. Orang menyangka kalau aku menggunakannya hanya untuk melindungi wajah dari terik matahari, padahal agar tidak terlihat bahwa aku juga masih ngantuk berat.
Acara pun usai, namun dari sound sistem terdengar komando agar jama’ah yang berada di GOR tidak keluar dulu, karena di luar kondisinya padat. Aku baru menyadari itu, tidak hanya di halaman GOR yang penuh sesak, di jalanan pun juga sama. Sampai-sampai ketika keluar kami hanya bisa berjalan merayap. Sandalku berkali-kali terinjak orang dari belakang, karena sangking padatnya. Sepanjang 2 Km menuju parkiran, orang masih berjubel, padahal sebagiannya sudah terpecah menuju ke masjid, mushola, atau POM untuk buang air kecil, termasuk aku. Butuh hampir setengah jam untuk antri buang air kecil di POM bensin, itu pun sudah antri dua-dua. Tau artinya? Yang masuk kamar mandi itu dua orang- dua orang. Aih-aih.
M. Fathoni Mahsun
Kader Ansor Jombang
01/04/2017
RTL PKD ke 3
Jumat 31/3/17, di musholla Sirojul Ulum Plandi Jombang. Dan sosialisasi perspektif fiqih batsul Masail PP Ansor tentang pemimpin non muslim
RTL PKD ke 2
Jumat 24/3/17, di Musholla H. Affandi Jagalan Jombang. Acara tambahan: orasi keorganisasian oleh ketua Rijalul Ansor pusat Gus Aam